Perjalanan ke kebun di Lempa, dekat Watangsoppeng, bersama mertua membuka ruang perenungan yang menggelitik. Di lahan jagung yang sudah dipanen, saya bertemu dengan dua orang, sebutlah nama samarannya La Tahang (57), seorang buruh tani, dan putranya, Anto (24), yang terkadang juga mencari nafkah sebagai buruh tambang batu.
Mereka memahami betul status mereka sebagai buruh, buruh tani, namun Hari Buruh 1 Mei terasa asing dalam realitas keseharian mereka.
Pengalaman ini menyadarkan bahwa gaung Hari Buruh Internasional, yang dirayakan dengan semangat perjuangan di perkotaan, tidak sepenuhnya menjangkau kehidupan para pekerja di sektor pertanian pedesaan. Sementara orang merayakan hak-hak pekerja di kota, jutaan buruh tani seperti La Tahang dan Anto terus bergelut dengan tantangan struktural yang mendasar.
Salah satu masalah utama yang dihadapi buruh tani pedesaan adalah keterbatasan akses terhadap kepemilikan lahan. Mereka umumnya bekerja sebagai penggarap di tanah milik orang lain, menerima upah harian yang seringkali minim dan tidak sebanding dengan kontribusi mereka dalam menghasilkan pangan.
Ketergantungan ini menciptakan ketidakpastian ekonomi dan membatasi potensi peningkatan kesejahteraan mereka.
Dalam percakapan yang sederhana, harapan-harapan mereka terungkap. Kepemilikan lahan pertanian sendiri menjadi impian utama, sebuah langkah menuju kemandirian dan stabilitas hidup.
Selain itu, kelancaran pasokan pupuk dan kebutuhan pertanian lainnya menjadi krusial untuk meningkatkan produktivitas. Dengan hasil panen yang lebih baik, ada harapan tipis agar upah mereka sebagai buruh juga dapat meningkat.
Kisah La Tahang dan Anto adalah cerminan dari tantangan yang dihadapi banyak buruh tani di Indonesia. Mereka adalah pekerja keras yang berkontribusi besar pada ketahanan pangan, namun seringkali terpinggirkan dalam diskursus dan perayaan Hari Buruh.
Fokus perjuangan buruh seringkali tertuju pada sektor industri dan perkotaan, sementara suara dan kebutuhan buruh tani di pedesaan belum mendapatkan perhatian yang proporsional.
Hari Buruh 1 Mei seharusnya menjadi momentum untuk merenungkan kembali makna “buruh” secara lebih luas. Ini bukan hanya tentang pekerja pabrik atau kantoran, tetapi juga tentang jutaan petani dan nelayan yang menggantungkan hidupnya pada alam.
Perlu adanya upaya yang lebih terarah untuk mengangkat isu-isu agraria dan kondisi buruh tani dalam agenda perjuangan buruh nasional.
Pemerintah dan berbagai pihak terkait perlu memberikan perhatian lebih serius pada implementasi reforma agraria yang memberikan akses lahan kepada petani kecil dan buruh tani.
Kebijakan yang mendukung ketersediaan dan keterjangkauan input pertanian, serta perlindungan harga jual hasil panen, akan memberikan dampak positif langsung pada kehidupan mereka.
Mungkin Hari Buruh 1 Mei belum menjadi bagian dari tradisi di pedesaan, namun aspirasi untuk kehidupan yang lebih baik adalah universal. Mari kita jadikan momentum ini sebagai pengingat untuk memperluas cakupan perjuangan buruh, merangkul mereka yang bekerja di ladang dan sawah, dan memastikan bahwa keadilan dan kesejahteraan juga menjadi hak mereka.
Perayaan Hari Buruh akan terasa lebih bermakna jika mampu menyentuh dan membawa perubahan positif bagi seluruh pekerja di negeri ini, termasuk La Tahang dan Anto di Lempa
Lempa Soppeng, 1 Mei 2025 AMZ