Ketika Bau Limbah, Jalan Rusak, dan Diam yang Terpaksa Menghapus Harapan
Oleh Redaksi
SOPPENG – Diam kadang bukan berarti tidak tahu. Tapi terlalu tahu, hingga memilih untuk tidak bicara. Seperti warga di sekitar Pasar Cabbenge. Mereka tahu, keadaan pasar itu sudah lama tak layak disebut layak. Mereka juga tahu, bicara terlalu keras bisa disalahartikan. Maka diam jadi pilihan paling aman. Warga yang ditemui bahkan hanya berani berbisik, “Tidak enak kalau dianggap melawan.”
Wawancara dilakukan Rabu pagi (2/7/2025), bukan hari pasar. Itu pun suasana terasa kaku. Seakan terlalu banyak hal yang ingin disampaikan, tapi tertahan di tenggorokan. Mereka enggan, tapi sekaligus lelah dengan kondisi yang tak kunjung berubah. Pasar yang mestinya jadi pusat ekonomi, justru berubah menjadi sumber masalah.
Pasar yang Tak Lagi Jadi Tujuan
Los-los yang dibangun permanen, kini banyak dibiarkan kosong. Ada yang memang belum pernah ditempati sejak dibangun, ada pula yang sengaja dikosongkan karena pedagang merasa tak nyaman. Sirkulasi buruk, panas, dan sepi pembeli. Tak sedikit pedagang lebih memilih menjajakan dagangan di pinggir jalan, di luar pasar.
“Lebih mudah pembeli lihat kalau jual di luar,”
Pemandangan kumuh juga kian menjadi-jadi di sisi luar pasar. Beberapa pemilik ruko menambah bangunan secara mandiri berupa kanopi, bangunan semi permanen, dinding papan, bahkan tumpukan meja yang menghalangi akses parkir. Areal yang seharusnya untuk parkir, kini dipenuhi barang dagangan. Tak satu pun tindakan dilakukan. Semuanya seolah dibiarkan tumbuh liar.
Sampah, Drainase, dan Genangan Air Limbah
Sisi barat pasar dulunya memiliki box truck yang digunakan sebagai Tempat Penampungan Sementara (TPS) sampah. Kini sudah tidak ada lagi. Diganti oleh kendaraan pick-up dengan kapasitas kecil yang tak sanggup mengimbangi volume sampah pasar. Kulit pisang, sisa ikan, dan limbah plastik kadang menggunung dan membusuk di sudut-sudut pasar.
“Kalau siang, bau menyengat sekali. Mau makan saja tidak enak,” keluh warga.
Lebih parah lagi, drainase di sisi barat pasar kini nyaris tak berfungsi. Para pemilik ruko menutup saluran dengan cor dan papan demi memperluas halaman. Jalan raya di sisi itu kini jauh lebih rendah dari teras-teras ruko, dan akibatnya, air limbah dari dalam pasar tak lagi punya arah mengalir. Saat musim hujan, semuanya tumpah ke rumah-rumah warga di belakang pasar.
“Airnya seperti oli, hitam pekat dan bau. Kalau sudah masuk rumah, lengket di dinding, di tiang-tiang. Tiap tahun kami hadapi ini. Dari 2006 sudah begini, tapi sekarang makin parah,” kata seorang warga yang rumahnya sering kebanjiran.
Puncak musim hujan, yang biasanya terjadi pertengahan Juli, sudah di depan mata. Warga mulai resah. Mereka tahu, pasar tak akan menahan limbahnya sendiri.
“Kami sudah siap-siap, tapi tetap saja tidak bisa menahan semua air kiriman. Apalagi drainase dari pemukiman timur juga masuknya ke sini semua,”
Kubangan di Mana-Mana
Tak hanya di dalam pasar, kondisi jalan raya di sekelilingnya juga menyedihkan. Sisi barat, utara, dan selatan pasar, kini lebih menyerupai kubangan besar saat hujan datang. Lubang-lubang dalam tak pernah diperbaiki. Aspal mengelupas dan genangan air menjadi pemandangan tetap.
“Kalau hujan, sudah tidak bisa dibedakan mana jalan mana kubangan. Kadang motor terperosok karena air menutupi lubang”.
Kondisi ini memperparah kesan kumuh dan semrawut. Pasar bukan lagi tempat yang ingin dikunjungi tapi terpaksa. Dan yang paling menyakitkan, tak ada tanda-tanda penanganan serius dari pemerintah.
Diam yang Dipilih, Bukan Diinginkan
Mengapa tidak ada aksi? Mengapa tidak ada protes? Jawaban paling jujur datang dari seorang bapak yang tinggal tepat di belakang pasar.
“Kami sudah capek. Sudah terlalu lama berharap. Ada yang mungkin sudah pernah sampaikan ke pemerintah, tapi hasilnya tidak kelihatan. Akhirnya, kami diam saja. Pasrah.”
Diam, bukan karena tak tahu. Tapi karena terlalu tahu bahwa bicara kadang tak membawa perubahan.
Penutup
Pasar Cabbenge bukan tak punya potensi. Tapi tanpa pengelolaan yang serius dan keberpihakan pada warga sekitar, ia akan terus menjadi sumber masalah. Sampah, limbah, bangunan liar, drainase tertutup, jalan rusak, dan warga yang membisu karena takut, semuanya menjadi bukti bahwa pasar ini sedang dibiarkan. Dan warga hanya bisa berharap… semoga pemerintah segera tergerak, sebelum semuanya benar-benar terlambat.
Catatan Redaksi
Tulisan ini disusun berdasarkan hasil wawancara lapangan pada Rabu, 2 Juli 2025, di luar hari pasar. Demi menjaga kenyamanan dan keamanan, identitas narasumber tidak dicantumkan. Seluruh kutipan disampaikan secara sukarela dan telah diramu dalam gaya naratif untuk memperkuat konteks investigasi serta menggambarkan kondisi riil di lapangan.