EKONOMIPERSPEKTIFSENI BUDAYASOPPENG

Jejak Tembakau Palangiseng (3): Legenda Coppo Seppang dan Punggawa Hadia

×

Jejak Tembakau Palangiseng (3): Legenda Coppo Seppang dan Punggawa Hadia

Sebarkan artikel ini

Oleh Redaksi Infotren24

Tulisan ini merupakan bagian ketiga dari rangkaian reportase khas Infotren24 tentang jejak tembakau di Palangiseng, Cabbenge—sebuah kisah panjang tentang gotong royong warga, tradisi bertani tembakau, dan napas sejarah yang tertinggal di ladang-ladang tua.

Jika dalam tulisan sebelumnya kami mengangkat semangat gotong royong warga—yang tanpa dibayar saling bantu menanam, mengiris, hingga menjemur tembakau—maka sore itu, di sela-sela istirahat di bawah pohon di pinggir ladang, Lato Beddu Haling membuka lembaran masa silam yang lebih jauh dan penuh warna.

Sebuah cerita tentang kejayaan tembakau Palangiseng di masa lampau, yang tak hanya dibangun oleh kerja keras petani, tapi juga oleh para tokoh legendaris yang menjadi simbol keberanian dan kehormatan.

Lato Beddu menyebut masa itu sebagai masa “Rontá’”, yang mungkin merujuk pada zaman pendudukan Jepang atau masa gejolak DI/TII sekitar tahun 1940-an hingga 1960-an.

Saat itu, tembakau Palangiseng tak hanya ditanam untuk kebutuhan lokal, tetapi dikirim ke kota-kota besar seperti Makassar dan Pare Pare. Namun pengangkutan hasil panen bukan perkara mudah. Mereka harus menempuh perjalanan berat menembus jalan sempit, sepi dan terjal di jalur Buludua, Camba, atau rute sepi menuju Pare Pare.

Semua dilakukan dengan mengandalkan kuda sebagai alat angkut utama.

Tapi yang membuat kisah ini lebih hidup adalah cerita tentang perompak yang kerap menghadang di tengah hutan. Lato Beddu menceritakan dengan penuh semangat, seolah ia masih bisa melihat kejadian itu di depan matanya.

Namun rombongan dari Palangiseng tidak gentar. Mereka memiliki pemimpin tangguh, seorang punggawa yang karismatik, pemberani, dan disegani: Punggawa Hadia.

Nama Punggawa Hadia hidup dalam ingatan kolektif warga. Ia bukan sekadar pedagang pengumpul, melainkan pemimpin rombongan sekaligus pelindung para pengangkut tembakau. “Badannya besar, tinggi, kuat, dan tak pernah mundur menghadapi penyamun,” kata Lato Beddu. Cerita semakin mengalir ketika Om Suheri, sahabat kami dalam perjalanan, menyela dengan bangga bahwa Punggawa Hadia adalah kakeknya langsung.

Konon, tidak ada uang pelicin yang diberikan kepada perompak. Tidak ada negosiasi yang merendahkan. Karena nama Punggawa Hadia cukup untuk membuat jalan terbuka. Ia membawa wibawa dan perlindungan, seperti tokoh-tokoh heroik dalam cerita silat atau serial Brama Kumbara yang dulu pernah tayang di televisi.

Namun keberanian saja tidak cukup membuat tembakau Palangiseng dikenang. Ada satu kawasan yang membuat mata para pedagang kota berbinar: Coppo Seppang. Nama ini merujuk pada gugusan kampung seperti Palero, Tetewatu, Bila, Pallapellenge, Tanete, Kampong Baka, Pallatae, Coppo Seppang, Panyingkulue, Aggolokenge, Togora dan sekitarnya, daerah penghasil tembakau terbaik dari seluruh penjuru Soppeng.

Lato Beddu menggambarkan bagaimana, sesaat rombongan kuda tiba di Makassar atau Pare Pare, para pembeli langsung berkerumun, berebut seperti menyambut barang langka. Tembakau Coppo Seppang dikenal punya aroma tajam tapi lembut, warna yang mencolok, dan kualitas tahan simpan yang luar biasa.

“Belum sempat turun dari pelana, pembeli sudah berebut tembakau. Seperti rebutan sirih raja di pesta besar,” katanya.

Hari mulai gelap saat Lato Beddu menutup ceritanya. Tapi dalam batin kami, cerita itu tak kunjung usai. Palangiseng bukan hanya menyimpan ladang tembakau, tapi juga jejak sejarah dan kearifan lokal yang nyaris dilupakan. Punggawa Hadia dan Coppo Seppang adalah simbol dari masa lalu yang masih hidup dalam ingatan dan tanah ini.

Kami pun meninggalkan Palangiseng malam itu, namun membawa pulang lebih dari sekadar catatan lapangan. Kami membawa cerita yang akan kami rawat dan teruskan—karena ada masa silam yang pantas dikenang, dan ada masa depan yang pantas dibangun dari ingatan itu.