EKONOMIPERSPEKTIFSENI BUDAYASOPPENG

Jejak Tembakau Palangiseng (1) — Menelusuri Ruang Tembakau Leluhur

×

Jejak Tembakau Palangiseng (1) — Menelusuri Ruang Tembakau Leluhur

Sebarkan artikel ini

Oleh Redaksi Infotren24

Soppeng, 25 Juli 2025 – Usai Sholat Jumat, kami bertiga (Saya, Ewok, Om Suheri) memilih bersantai sejenak di sebuah warung kopi di kawasan Pasar Cabbenge. Suheri Sulle ini tokoh LSM Soppeng yang sering bersuara lantang tentang pemihakan petani dan masyarakat marginal. Suasana cukup lengang, secangkir kopi hitam jadi teman diskusi ringan.

Tak disangka, dari obrolan santai itu muncul satu ide liar: mengunjungi salah satu lokasi penanaman tembakau legendaris di Kabupaten Soppeng — Palangiseng, di Kecamatan Lilirilau.

Tanpa banyak pikir, kami langsung bergerak. Tiga motor melaju menyusuri jalan kampung. Semakin jauh dari pasar, hamparan jagung mulai menyambut kami di kiri-kanan jalan. Udara kering sore hari memantulkan aroma khas tanah pertanian. Di balik rumah-rumah penduduk, kebun jagung dan deretan pohon kakao menegaskan identitas agraris kampung ini.

Kami berhenti di depan sebuah bengkel kecil. Di sana, beberapa teman sudah menunggu untuk mengantar kami ke lokasi tembakau. Sepanjang perjalanan kecil, kami melintasi kebun-kebun tembakau yang masih muda — sekitar beberapa puluh hari umur tanamnya. Kami mencari lahan yang sedang diurus langsung oleh pemiliknya.

Akhirnya, kami temukan satu titik yang cocok. Di tengah lahan kering yang sudah mulai teduh oleh matahari sore, berdirilah seorang petani tua — berusia sekitar 70 tahun — sedang memperhatikan tanamannya. Warga mengenalnya sebagai Lato Beddu Haling. Nama itu bukan hanya sapaan biasa, tapi bentuk penghormatan.

Lato Beddu Haling

Kami mendekat. Duduk beralaskan tanah, membiarkan percakapan mengalir perlahan. Salah satu dari kami membuka obrolan dengan memperkenalkan diri, kebetulan memiliki darah leluhur dari kampung itu. Lato Beddu pun tak canggung. Ceritanya mengalir: tentang tembakau, tentang musim, tentang masa lalu, dan tentang harapan.

“Tembakau dulu ibarat napas hidup di kampung ini,” ujar Lato Beddu Haling perlahan.

Ketika kami bertanya sejak kapan tembakau mulai ditanam di kampung ini, Lato Beddu Haling menggeleng pelan.

“Sebelum saya lahir, sudah ada. Bapak saya menanam, mungkin juga kakek saya. Saya tidak tahu pasti kapan mulainya,” ujarnya sambil menatap jauh ke arah barat, seolah menerobos garis waktu masa silam.

Ia tidak tahu jenis bibit secara ilmiah, tapi masyarakat mengenal tembakau dari ciri-ciri daunnya. Ada yang disebut Ico Se’ Bolong, berdaun bulat; Ico Nyelle, yang tinggi dan berdaun panjang; serta Ico Lambau, yang lebih halus. Bibitnya dulu didapat dari kampung sendiri. Tapi kini, ia menyebut satu nama daerah di kabupaten tetangga sebagai tempat membeli bibit.

Ia menunjuk ke arah hamparan jagung yang kami lewati sebelumnya. “Dulu itu semua tembakau,” katanya lirih. Namun karena harga tembakau semakin tidak menentu, banyak warga beralih ke jagung, kakao, atau tanaman jangka pendek lainnya yang dianggap lebih stabil dari segi ekonomi. Meski demikian, segelintir petani masih setia menanam tembakau, menjaga sisa-sisa kejayaan masa lalu.