DAERAHEKONOMI

“Pangi Soppeng: Pekat di Rasa, Terang di Peluang Pasar”

×

“Pangi Soppeng: Pekat di Rasa, Terang di Peluang Pasar”

Sebarkan artikel ini

SOPPENG (15/8/2025) – Obrolan tentang Pangi (Fangi ), biji keluak yang menjadi rahasia warna hitam gurih rawon, sambal, sup konro, atau dodol khas desa, mengalir santai saat makan siang sebelum Sholat Jumat bersama Om Meylani Kallupa dan Suheri Sulle, di sebuah warung tradisional tak jauh dari masjid.

Hidangan siang itu ditemani sambel kalua, atau yang oleh orang Soppeng lebih akrab disebut fangi/pangi. Seperti rasa bumbu itu, perbincangan kami pun pekat dan dalam, membentang dari kebun desa hingga pasar kuliner nusantara.

Menurut Om Meylani, beberapa kecamatan menjadi penyangga utama keberadaan pangi di Soppeng. Di Marioriwawo,  pohon pangi tumbuh berdampingan dengan cengkeh dan kakao di kebun warga. Gattareng terkenal sebagai sentra dodol pangi, mengolah biji berwarna gelap itu menjadi penganan manis yang selalu hadir di hajatan.

Di Liliriaja, Desa Timusu, menyandang predikat Desa Wisata Kuliner. Bukan tanpa alasan, pohon pangi yang berdiri teduh di kebun warga menjadi sumber bahan baku dodol pangi yang menjadi kebanggaan desa.

Bahkan di Lalabata, masih  ada pohon pangi tumbuh satu satu di sela pohon kelapa dan rambutan. “Pohon ini tidak rewel, tapi juga tidak semua orang sabar merawatnya,” ujar Meylani Kallupa, menggambarkan hubungan akrab yang terjalin puluhan tahun.

Penyebaran pangi di Soppeng mengikuti pola agroforestri yaitu ditanam bersama tanaman lain, dekat sumber air, dan tidak berdiri dalam kebun monokultur. Meski demikian, nilainya cukup menjanjikan, terutama karena bijinya jarang tersedia di pasaran bebas dalam jumlah banyak. Pangi menjadi jembatan antara tradisi dan ekonomi lokal.

Dari dapur desa hingga restoran kota besar, keluak hadir sebagai bumbu yang memberi sentuhan berbeda, kuah menjadi hitam pekat, rasa menjadi bulat, dan aroma lebih dalam. Di banyak daerah, keluak bukan sekadar bahan tambahan, tetapi penentu identitas rasa.

Di tingkat lokal, terutama Sulawesi Selatan, keluak mewarnai masakan berkuah seperti pallu kaloa, konro atau variasi sup iga dan ikan. Rasanya menyatu dengan rempah, menghasilkan sajian gurih yang akrab di lidah. Pemanfaatannya juga meluas ke olahan kreatif, dari makanan manis hingga penganan khas daerah.

Secara nasional, keluak punya peran besar dalam masakan ikonik dari berbagai provinsi. Di Jawa Timur dan Madura, ia menjadi jiwa rawon, di Yogyakarta dan Jawa Tengah, ia menghidupkan brongkos, sementara di Jakarta dan sekitarnya, ia adalah pucung dalam gabus pucung yang legendaris. Masing-masing hidangan ini bergantung pada keluak untuk warna alami dan cita rasa khas yang tak tergantikan.

Potensi pasar keluak tumbuh dari keberagaman ini. Di pasar lokal, permintaan datang dari rumah tangga, warung, hingga katering acara adat. Di pasar nasional, kebutuhannya tersebar di sentra kuliner tradisional, restoran khas daerah, dan pelaku usaha kuliner menu Nusantara. Tren wisata kuliner dan kebangkitan masakan tradisional ikut memperluas peluang, menjadikan keluak komoditas yang stabil permintaannya.

Tokoh masyarakat Soppeng, Meylani Kallupa, menilai penjualan pangi selama ini belum memberi keuntungan optimal bagi petani karena masih dipasarkan dalam bentuk utuh bersama cangkang.

“Dijual dengan cangkang, artinya lebih berat cangkang daripada isinya. Perlu dipikirkan cara bagaimana menjadi bubuk atau kemasan yang menjaga aroma dan tahan lama supaya pemasaran menjadi lebih ekonomis dan higienis,” ujarnya.

Pengembangan pangi diarahkan pada empat langkah utama. Pertama, pengolahan pasca panen dilakukan dengan pembersihan, fermentasi sesuai standar mutu, dan pengambilan daging biji secara higienis. Kedua, diversifikasi produk berupa bubuk pangi siap pakai dan pasta. Ketiga, kemasan ekonomis dan higienis dirancang menggunakan  botol kaca kecil  untuk menjaga aroma dan mencegah kelembaban. Keempat, pemasaran terpadu yang menyasar pasar lokal melalui UMKM dan toko oleh-oleh, serta pasar nasional lewat e-commerce dan jejaring kuliner Nusantara.

Dari meja makan sederhana siang itu, dengan sambel kalua yang menempel di lidah, obrolan kami berujung pada satu kesimpulan, Pangi Soppeng bukan sekadar bumbu. Ia adalah cerita, rasa, dan masa depan yang patut dijaga.