Cabbenge Soppeng (17/7/2025)_ Seperti biasa, kopi jadi alasan untuk duduk lebih lama. Meja warung pinggir jalan di Cabbenge Soppeng menjadi tempat kami menyandarkan lelah, sekaligus membuka ruang bicara tentang hal-hal yang tak selalu sempat dibahas. Tapi malam Jumat itu agak berbeda. Bukan hanya karena aroma kopi yang lebih harum dari biasanya, tapi karena hadirnya seorang sahabat muda —Sofyang, S.H., M.H., advokat muda dari LBH GP Ansor Kabupaten Wajo.
Awalnya kami bicara biasa saja. Soal cuaca, pasar, tembakau lokal, puskesmas dan harga motor bekas. Tapi perlahan, obrolan berbelok arah. Tentang hukum. Tentang rakyat kecil. Tentang bagaimana keadilan terasa makin jauh dari mereka yang paling membutuhkannya.
“Bukan hukum yang lemah,” kata Sofyang sembari menyeruput kopinya, “tapi keberpihakan yang sering absen.”
Kalimat itu menggantung lama di kepala. Sederhana tapi menyentak. Ia seolah merangkum semua ironi yang sering kita lihat di negeri ini: ruang sidang yang megah, toga yang rapi, aturan yang lengkap namun di sisi lain, ada petani yang tak bisa mempertahankan lahannya, buruh yang digaji di bawah layak, dan anak-anak yang kehilangan masa depan karena ayahnya dikriminalisasi tanpa pembelaan.
LBH Ansor: Lebih dari Sekadar Lembaga
Dalam percakapan yang makin larut itu, saya mulai menangkap satu hal penting: LBH GP Ansor tidak lahir untuk menjadi pelengkap administrasi organisasi. Ia hadir karena ada luka yang harus dijahit, ada suara yang harus dibela, dan ada keberanian yang harus diwariskan. Ini bukan soal mencetak pengacara, tapi membentuk pejuang—mereka yang tak hanya paham pasal, tapi juga mengerti perasaan orang yang dizalimi.
“Rakyat nggak butuh teori,” lanjut Sofyang, matanya menatap kosong ke arah jalanan malam yang mulai lengang, “mereka butuh kehadiran nyata saat haknya dirampas.”
Dan benar, betapa banyak lembaga yang bicara keadilan, tapi lebih sering tampil di seminar dan baliho ketimbang di kolong jembatan tempat rakyat kecil bertahan hidup. LBH Ansor seharusnya tidak ikut-ikutan. Ia mesti hadir sebagai pembeda—bukan yang netral, tapi yang berani berpihak. Karena netralitas, dalam banyak kasus, adalah bentuk lain dari keberpihakan kepada penindas.
Dari Organisasi Pemuda, Menjadi Gerakan Kemanusiaan
GP Ansor adalah organisasi pemuda. Tapi LBH-nya, jelas bukan sekadar sayap organisasi. Ia adalah wajah dari keberpihakan. Maka mereka yang memilih terlibat di dalamnya harus siap dengan jalan panjang, jalan yang sunyi, penuh godaan, tapi juga jalan mulia. Karena saat kepercayaan publik terhadap hukum runtuh, masih harus ada yang percaya bahwa keadilan itu bukan sekadar utopia.
Malam itu, kopi kami tinggal ampas. Tapi obrolan kami justru mengendap jadi semacam renungan. Bahwa sesungguhnya, perjuangan hukum bukan tentang menang atau kalah di meja hijau. Tapi tentang siapa yang masih bersedia berdiri bersama mereka yang tak punya siapa-siapa. Di titik itulah LBH Ansor dan Advokat Sofyang menemukan maknanya.