Gedung DPRD terbakar, tapi yang lebih hangus sebenarnya adalah kepercayaan masyarakat.
Pagi itu saya memilih jalan kaki ke warung kopi. Sekadar olahraga ringan, sekaligus ritual harian, menyeruput kopi sambil menumpang suasana obrolan warga. Dari jauh, riuh rendah suara terdengar, soal gedung DPRD Makassar yang kini tinggal puing, rata dengan tanah setelah dibakar massa.
Menariknya, yang ramai dibicarakan bukan soal isu pemicu demo, melainkan gedung yang jadi korban. Bangunan megah yang dulunya jadi simbol wakil rakyat, kini jadi arang.
Di tengah hiruk-pikuk, seorang bapak melontarkan kalimat berbahasa Bugis, “Ifenre’i de’nagetteki menre, nalabumiki”. Artinya, “Dinaikkan, tapi tidak membantu naik, malah kita ditenggelamkan.”
Ungkapan sederhana, tapi penuh perasaan kecewa, frustrasi, dan penyesalan terhadap kinerja para wakil mereka di kursi legislatif.
Tawa tipis terdengar saat ada yang menimpali dengan nada bercanda, “Berani memang pademo sekarang, membakarmi.” Belum selesai kalimatnya, seorang lainnya langsung menyambar, “Makkanrei Wae Sanroe”
Seketika warkop pecah oleh tawa. Semua paham maksudnya. “Efek air dukun”, begitu kira-kira artinya. Konon, di masa lalu ada ritual sebelum perang, pasukan diberi minum air mantra dari dukun sakti agar berani mati di medan laga.
Apakah orang-orang di warkop itu masih percaya? Tentu tidak. Itu hanya ungkapan spontan, cara mereka melarikan ketegangan. Tapi di balik canda itu, terselip rasa getir. Ketika kepercayaan pada lembaga runtuh, orang bahkan bisa berkelakar mungkin satu-satunya jalan terakhir hanyalah kembali ke dukun.
Belum reda gelak tawa, seorang lagi menambahkan bumbu, “Alena fakemeto wae sanro, isuro bolo ulunna, nafakemi mabbissa aje, kajokka jokka mi najama”.
Tawa kembali pecah. Lucu, tapi menusuk.
Kira-kira maksudnya adalah “Ada juga air dari dukun, disuruh siram kepala tapi dipake cuci kaki, makanya kerjanya banyak jalan jalan”. Hasilnya ya tetap begitu-begitu saja.
Begitulah obrolan warung kopi. Ringan, penuh canda, tapi menyimpan luka. Bagi mereka, sebagian wakil rakyat ibaratnya sudah dinaikkan, tapi bukannya mengangkat nasib rakyat, justru ikut menenggelamkan.
Gedung DPRD terbakar, tapi yang lebih hangus sebenarnya adalah kepercayaan masyarakat.






