SOPPENG, 17 September 2025 — Advokat muda sekaligus dosen asal Mallanroe, Lilirilau, Soppeng, Sofyang, SH, MH, meluncurkan buku berjudul “Hukum, Perceraian, dan Kekerasan dalam Rumah Tangga: Dinamika, Faktor, dan Upaya Penanggulangan.” Buku ini hadir sebagai upaya memberi pencerahan hukum kepada masyarakat di tengah masih tingginya angka perceraian di Sulawesi Selatan.
Data Pengadilan Tinggi Agama Sulsel mencatat, pada 2024 terdapat hampir 12 ribu perkara perceraian yang diputus. Mayoritas disebabkan oleh perselisihan rumah tangga, faktor ekonomi, serta kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Sofyang menyebut data ini sebagai sinyal penting bahwa masyarakat membutuhkan pemahaman hukum sekaligus pendidikan keluarga yang lebih baik.
Dalam wawancara dengan infotren24, Sofyang menjelaskan bahwa buku ini lahir dari refleksi pengalaman pribadinya yang tumbuh di keluarga yang pernah mengalami perceraian.“
Saya ingin mengajak masyarakat memahami hukum dan menemukan cara mencegah disharmoni rumah tangga sebelum terlambat,” ungkapnya.
Buku tersebut mengulas definisi perkawinan menurut hukum dan agama, dasar hukum perceraian, bentuk-bentuk KDRT, hingga langkah-langkah pencegahan dan penanggulangan. Sofyang menegaskan pentingnya keterlibatan pemerintah, tokoh agama, dan masyarakat untuk memperkuat ketahanan keluarga.
Yang menarik, Sofyang menyoroti peran budaya lokal di Sulsel yang tak selalu berpihak pada kesetaraan gender. Budaya Bugis-Makassar dikenal menjunjung tinggi siri’ na pacce (harga diri dan solidaritas), tetapi dalam praktiknya, kata Sofyang, tafsir yang keliru dapat membuat perempuan enggan melapor atau memilih bertahan dalam pernikahan yang penuh kekerasan karena takut dianggap memalukan keluarga.
“Budaya kita punya sisi baik, tetapi jika digunakan untuk membungkam korban KDRT, itu harus dikritisi. Kita perlu mempertahankan nilai yang menjaga keharmonisan, dan meninggalkan praktik yang justru melanggengkan ketidakadilan,” tegasnya.
Ia juga menyoroti bagaimana patriarki memperkuat relasi kuasa yang timpang di rumah tangga. Banyak perempuan merasa tidak berhak mengambil keputusan atau menggugat cerai, meski menjadi korban kekerasan. “Jika pola pikir ini tidak diubah, angka KDRT akan terus tinggi,” kata Sofyang.
Selain aspek hukum dan budaya, buku ini juga memberikan panduan praktis, termasuk pentingnya penyuluhan pranikah, pendidikan karakter di sekolah, dan kampanye anti-KDRT berbasis komunitas. Menurut Sofyang, sinergi antara hukum positif, nilai agama, dan kearifan lokal yang progresif akan menjadi fondasi keluarga yang harmonis.
Sofyang berharap karyanya bisa menjadi referensi bagi akademisi, mahasiswa, praktisi hukum, maupun masyarakat umum. “Keluarga adalah pilar utama kehidupan. Kita harus menjaganya dengan kasih sayang, penghormatan, dan keadilan,” tutupnya.