HUKUMLINGKUNGANLUWU RAYA

Kebocoran Pipa Minyak PT Vale di Luwu Timur: Anggota DPRD Angkat Bicara

×

Kebocoran Pipa Minyak PT Vale di Luwu Timur: Anggota DPRD Angkat Bicara

Sebarkan artikel ini

LUWU TIMUR – Kebocoran pipa minyak milik PT Vale Indonesia Tbk. menuai sorotan. Pada Sabtu pagi, 23 Agustus 2025 sekitar pukul 07.30 WITA, pipa penyalur Marine Fuel Oil (MFO) di Desa Lioka, Kecamatan Towuti, mengalami kebocoran. Minyak pekat merembes ke area persawahan, saluran irigasi, dan kemungkinannya mengalir hingga ke sungai.

Peristiwa ini langsung menimbulkan keresahan warga, khususnya para petani yang lahannya tercemar. Sejumlah anggota DPRD Luwu Timur menegaskan bahwa PT Vale harus bertanggung jawab penuh atas insiden tersebut.

Legislator Minta Vale Transparan, Bertanggung Jawab Penuh dan Ganti Kerugian

Beberapa anggota legislatif memberikan tanggapan beragam saat dikonfirmasi melalui sambungan selulernya (24/8/2025).

Hj. Harisah Suharjo, Wakil Ketua DPRD Luwu Timur dari Fraksi PAN, menegaskan keprihatinannya atas dampak kebocoran pipa terhadap masyarakat.

“Tentu kami prihatin karena salah satu sumber pendapatan masyarakat terganggu. Saya kira kita serahkan ke Vale untuk langkah teknis penanganan kasus ini. Selanjutnya peran pemerintah dan pemangku kepentingan di daerah ini harus duduk bersama. Yang jelas kita tidak mau masyarakat dirugikan,” katanya.

Ia menambahkan, DPRD akan segera menjadwalkan rapat dengar pendapat (RDP) untuk mendengar progres dari PT Vale. “Waktunya sementara kita bahas, dan segera kita tetapkan,” jelasnya.

Firman Udding dari PKS/Fraksi PAN menegaskan dampak kebocoran pipa bisa berlangsung sangat lama.

“PT Vale harus bertanggung jawab penuh atas kejadian ini. Segera bentuk tim terpadu untuk mengidentifikasi luas dampaknya. Kasihan petani yang sawahnya dimasuki minyak. Dampaknya bisa puluhan tahun,” ujarnya.

Eric Strada dari Fraksi PDIP juga menilai kerugian petani tidak bisa dianggap sepele.

“Kejadian ini sangat memprihatinkan. Vale perlu bertanggung jawab dan memastikan kejadian serupa tidak terulang. Tim lapangan juga harus mendata secara detail seluruh lahan yang terdampak untuk ditindaklanjuti,” tegasnya.

Andi Ahmad dari PDIP menyebut kebocoran ini sebagai bentuk kelalaian perusahaan.

“Jika dampak pencemaran tidak segera diatasi, Vale harus mengganti kerugian masyarakat yang terkena limbah minyak,” katanya.

Sementara itu, Sarkawi A. Hamid dari Gerindra menekankan pentingnya keterbukaan informasi.

“Vale harus terbuka kepada publik, kalau perlu lakukan konferensi pers untuk menjelaskan penyebab kebocoran dan langkah pemulihan. Publikasi upaya yang sudah dilakukan juga harus rutin agar masyarakat mengetahui perkembangan,” jelasnya.

Meski disampaikan dengan cara berbeda, hampir semua legislator sepakat bahwa PT Vale wajib bertanggung jawab penuh, termasuk ganti rugi kepada masyarakat. DPRD juga menegaskan akan menggelar RDP, dengan jadwal yang sementara masih dibahas.

Landasan Hukum: Strict Liability

Pasal 88 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup menegaskan bahwa setiap penanggung jawab usaha yang menimbulkan pencemaran wajib menanggung kerugian tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan (strict liability).

Hal ini diperkuat dengan Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2021 yang mengatur mekanisme pemulihan lingkungan, termasuk kewajiban memulihkan tanah, air, dan ekosistem yang tercemar. Peraturan itu juga memberi ruang penjatuhan sanksi administratif hingga pidana apabila perusahaan terbukti lalai.

Selain itu, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi mewajibkan setiap badan usaha migas melaksanakan kegiatan secara aman dan ramah lingkungan. Kelalaian dapat berujung gugatan perdata, sanksi pidana, hingga pencabutan izin usaha.

Dengan kombinasi aturan tersebut, insiden kebocoran pipa seperti yang terjadi di Luwu Timur secara regulatif dapat dikategorikan sebagai pelanggaran serius.

Namun, kepastian status hukumnya tetap bergantung pada hasil investigasi resmi dan langkah penegakan hukum dari pemerintah maupun aparat berwenang.

Respons PT Vale

Dalam keterangannya di sejumlah media lokal, PT Vale Indonesia menyebut telah mengaktifkan Emergency Response Group (ERG) dan tim Crisis Management. Perusahaan juga memasang oil boom dan oil trap untuk mencegah penyebaran minyak.

Namun hingga kini, Vale belum mempublikasikan secara resmi volume tumpahan minyak, yang idealnya dihitung dari tekanan pipa, luas kebocoran, serta durasi insiden. Begitu pula soal jangkauan paparan minyak, yang dapat diukur dari kecepatan aliran sungai dan lamanya kebocoran.

Ketiadaan informasi detail ini masih menimbulkan pertanyaan mengenai seberapa besar skala kerusakan yang terjadi.

Kebocoran pipa minyak di Luwu Timur bukan hanya soal teknis, tetapi juga menyangkut tanggung jawab hukum, sosial, dan lingkungan. Warga terdampak kini menanti langkah konkret dari perusahaan, sementara sorotan DPRD mempertegas bahwa kasus ini tidak bisa dianggap remeh.

Pada akhirnya, insiden ini mengingatkan kita bahwa setiap tetes minyak yang tumpah ke bumi bukan hanya mencemari tanah dan air, tetapi juga menorehkan jejak panjang dalam kehidupan masyarakat. Sebuah peringatan bahwa pembangunan dan industri, betapapun pentingnya, tetap harus menaruh hormat pada alam dan manusia.