PERSPEKTIF

Kebangkitan Tembakau Soppeng Melalui Kebijakan Berani dan Berpihak

×

Kebangkitan Tembakau Soppeng Melalui Kebijakan Berani dan Berpihak

Sebarkan artikel ini

“Tak ada yang menyangkal bahwa tembakau pernah menjadi denyut ekonomi rumah tangga di Soppeng. Tapi kini, para petani mulai kehilangan pijakan, sementara rokok pabrikan besar makin merajalela di warung-warung kampung”.


Hamparan tanaman tembakau di lahan petani, aktivitas menjemur daun tembakau di halaman rumah, hingga prosesi pengasapan daun tembakau dalam tabung bambu yang menyebarkan aroma semerbak ke seluruh kampung, perlahan mulai hilang. Jejak budaya tembakau yang dulu menjadi nadi kehidupan masyarakat Cabbenge, Kabupaten Soppeng, kini makin samar.

Konon, tak hanya sebagai tanaman komoditas, tembakau di Soppeng adalah identitas. Dari generasi ke generasi, warga Lilirilau mewarisi kearifan dalam menanam, mengolah, hingga melinting tembakau menjadi rokok yang menjadi tumpuan ekonomi rumah tangga. Tapi kini, semua itu nyaris tinggal cerita.

Serbuan tembakau dari luar daerah, terutama dari Jawa, disusul dengan dominasi rokok mesin dari pabrikan besar, perlahan menggerus budaya lokal. Lebih menyakitkan lagi, keberadaan rokok ilegal dari luar dan bayang bayang sanksi hukum terhadap pengusaha lokal yang bertahan, menjadikan posisi petani dan pengusaha rokok Soppeng makin terjepit.

Rokok Luar Menyerbu, Rokok Lokal Diburu

Serbuan rokok dari luar Soppeng bukan sekadar kompetisi pasar. Ini adalah invasi yang mengacak-acak tatanan ekonomi mikro masyarakat. Rokok pabrikan besar, berharga murah dan diproduksi secara massal menggunakan mesin, kini mudah ditemukan di warung-warung kecil di kampung. Bahkan, rokok ilegal dari luar—yang tidak memiliki pita cukai atau menggunakan cukai tidak sesuai—ikut membanjiri pasar.

Sementara itu, pengusaha lokal yang selama ini bertahan memproduksi rokok lokal, justru kerap menjadi sasaran penindakan hukum. Ironisnya, penindakan ini seringkali dilakukan tanpa melihat akar masalahnya. Lemahnya proteksi negara terhadap produsen lokal dan absennya kebijakan afirmatif dari daerah.

Celah Aturan Untuk Keberpihakan

Jika ditelusuri secara hukum, pemerintah daerah memiliki ruang cukup besar untuk hadir dan melindungi petani serta pengusaha tembakau lokal. Celah ini bisa ditempuh melalui Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Pasal 12 ayat (1) huruf e menyebutkan bahwa salah satu urusan wajib non-pelayanan dasar pemerintah daerah adalah pemberdayaan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).

Lebih jauh, Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT) pun memberikan peluang untuk dimanfaatkan. Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 215/PMK.07/2021 menyebutkan bahwa salah satu prioritas penggunaan DBHCHT adalah untuk mendukung pembinaan industri hasil tembakau dan pemberdayaan petani tembakau.

Namun, dalam praktiknya, sangat sedikit daerah yang benar-benar memanfaatkan celah ini untuk membuat kebijakan protektif. Tidak banyak daerah yang memiliki Peraturan Daerah atau Peraturan Bupati yang mengatur perlindungan terhadap petani dan pengusaha tembakau lokal secara spesifik. Celah hukum yang ada justru dibiarkan kosong, sementara arus barang dan produk dari luar terus masuk tanpa kendali.

Pemerintah Daerah yang Melindungi

Bandingkan dengan Kabupaten Kudus, Jawa Tengah. Daerah ini telah mengatur pemanfaatan DBHCHT secara afirmatif melalui Peraturan Bupati (Perbup) Kudus Nomor 19 Tahun 2021, yang mengatur bantuan untuk petani tembakau dan pelatihan usaha hasil tembakau. Bahkan, Deli Serdang di Sumatra Utara melalui Perda Nomor 4 Tahun 2019 telah mengatur fasilitasi UMKM rokok lokal sebagai bentuk pemberdayaan.

Sementara itu, Pemerintah Provinsi Jawa Timur melalui Pergub No. 77 Tahun 2020 tentang Petunjuk Teknis DBHCHT, secara eksplisit mengatur bahwa sebagian besar dana cukai harus dialokasikan untuk meningkatkan kesejahteraan petani tembakau dan tenaga kerja industri hasil tembakau.

Solusi Kebijakan: Intensifikasi, Diversifikasi dan Subsidi

Solusi yang bisa dilakukan Pemda Soppeng adalah memperkenalkan dan memfasilitasi bibit tembakau berkualitas bagi petani. Sampai saat ini, petani tembakau tidak bisa menjelaskan jenis atau varietas apa yang mereka tanam. Yang mereka tahu adalah bibitnya adalah hasil tembakau yang ditanam oleh leluhur mereka. Tidak pernah berganti.

Hal lain, yaitu mendorong diversifikasi produk tembakau lokal. Tidak semua hasil tembakau harus menjadi rokok. Beberapa kabupaten penghasil tembakau seperti Temanggung dan Lombok telah mengembangkan produk turunan tembakau seperti minyak tembakau, pestisida organik, bahkan kosmetik berbahan dasar tembakau.

Subsidi langsung kepada petani tembakau juga menjadi langkah strategis. Pemerintah bisa memberikan insentif berupa bibit, pupuk, pelatihan budidaya organik, hingga penjaminan harga. Ini sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani, Pasal 34 ayat (1) dan (2), yang menegaskan bahwa pemerintah daerah wajib menyediakan jaminan kepastian usaha bagi petani.

Menyinggung TKDN dan Pembatasan Iklan Rokok Luar

Ironisnya, wacana mengenai Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) dalam industri hasil tembakau belum mendapat tempat dalam ranah kebijakan lokal. Padahal, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian, pada Pasal 86 menyebutkan bahwa pemerintah wajib mengutamakan penggunaan komponen dalam negeri dalam pengembangan industri nasional.

TKDN dalam konteks rokok bisa diartikan sebagai kewajiban bagi perusahaan rokok yang beroperasi atau menjual produknya di wilayah Soppeng, untuk menggunakan sebagian bahan baku dari tembakau lokal. Jika tidak bisa dipenuhi, pemerintah daerah bisa memberikan insentif khusus bagi pengusaha lokal yang sudah menjalankan praktik ini secara sukarela.

Saat ini, reklame dan iklan rokok dari pabrikan luar masih mendominasi ruang publik, mulai dari spanduk, billboard, hingga sponsorship acara lokal. Padahal, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif, khususnya Pasal 37 hingga Pasal 40, mengatur soal pembatasan promosi dan iklan rokok.

Pemerintah daerah memiliki ruang untuk menerbitkan Perda atau Perbup tentang batasan iklan rokok luar di wilayahnya. Langkah ini bukan hanya untuk alasan kesehatan, tapi juga sebagai bagian dari strategi afirmatif melindungi eksistensi produsen lokal.

Penindakan Hukum Tanpa Solusi

Aparat penegak hukum sering kali gencar melakukan razia terhadap rokok lokal tak bercukai. Tanpa intervensi negara, sanksi hukum terhadap pengusaha kecil justru menjadi bentuk ketidakadilan struktural.

Solusi bukan pada menghukum, tapi membina dan membuka jalan legalitas yang layak. Pemerintah daerah bisa membentuk koperasi atau Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) yang menjadi distributor rokok lokal bercukai. Skema ini memungkinkan pengusaha kecil ikut menikmati keuntungan ekonomi secara legal.

Saatnya Daerah Bertindak

Jika tidak segera diambil langkah konkret, maka yang hilang bukan hanya tanaman tembakau, tapi juga identitas budaya, ekonomi, dan kemandirian masyarakat Soppeng.

Karena mempertahankan tembakau lokal bukan semata urusan ekonomi, tapi juga keberpihakan. Sebab aroma harum tembakau itu bukan sekadar bau daun kering, tapi jejak hidup dan sejarah generasi masyarakat.