Dulu, banyak yang bersuka cita saat Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa disahkan. Kepala desa menyambutnya dengan harapan besar, tokoh masyarakat menyebutnya sebagai tonggak baru demokrasi lokal, dan rakyat desa pun berharap: akhirnya desa diberi kewenangan penuh untuk mengurus rumah tangganya sendiri.
Desa tak lagi sekadar pelaksana proyek dari pusat, melainkan subjek pembangunan yang berdiri di atas kaki sendiri.
Namun seiring waktu, harapan itu mulai terasa jauh. Saat ini, otonomi desa seperti hampir punah. Desa dibanjiri oleh program-program titipan dari pemerintah pusat maupun daerah. Program-program itu datang sudah dalam bentuk “paket lengkap” anggaran, petunjuk teknis, sampai laporan. Desa tinggal menjalankan.
Tapi yang jadi masalah, program itu bukan berasal dari kebutuhan warga, melainkan dari janji-janji kampanye para penguasa yang dulu dilontarkan saat pemilihan.
Desa kini dijadikan alat pencitraan. Panggung pelunasan janji politik. Dan yang lebih menyakitkan, suara masyarakat desa semakin tak dianggap. Musyawarah hanya formalitas, partisipasi warga menghilang.
Dana desa yang seharusnya menjadi berkah pun berubah menjadi jerat. Dana besar datang tanpa kesiapan yang cukup. Sistem pelaporan ruwet, pengelolaan keuangan yang teknis, dan beban administrasi yang berat.
Banyak kepala desa akhirnya terjebak. Ada yang tersandung hukum, ada yang depresi karena tak kuat menanggung beban. Padahal, banyak dari mereka hanya menjalankan program yang bukan ide mereka sendiri.
Sayangnya, ketika masalah muncul, desa yang disalahkan. Kepala desa yang harus menanggung akibatnya. Padahal mereka terjebak dalam sistem yang memaksa.
Melihat kenyataan ini, saya ingin mengingatkan seluruh kepala desa di manapun berada: jangan gegabah.
Tetaplah berhati-hati. Pelajari setiap program, pahami konsekuensinya, dan libatkan warga sebanyak-banyaknya. Jangan hanya karena ingin cepat, semua disetujui tanpa kajian. Karena jika salah melangkah, ujungnya bisa meja hijau.
Sudah saatnya desa diberi ruang dan kepercayaan penuh. Bukan dikendalikan dengan program titipan. Bukan dijerat oleh dana yang penuh jebakan. Dan bukan dijadikan alat politik kekuasaan.
Desa harus kembali merdeka. Karena jika dibiarkan seperti ini terus, bukan tidak mungkin, otonomi desa akan benar-benar punah.
Desa Timusu, 28 April 2025 H. Zulkarnain, ST, MM.