LINGKUNGANPERTANIANWAJO

Tanah Koti: Jejak Budaya Berbagi di Pesisir Danau Tempe

×

Tanah Koti: Jejak Budaya Berbagi di Pesisir Danau Tempe

Sebarkan artikel ini

Pagi itu, langit di Ujunge (21/8/2025), Tanasitolo, masih menggantungkan sisa-sisa kabut. Matahari belum sepenuhnya menampakkan wajahnya, hanya semburat cahaya samar yang memantul di permukaan Danau Tempe. Dari tepian, terdengar suara kayu beradu pelan dengan air, tanda perahu-perahu nelayan mulai bersandar.

Sungai kecil, sebagai tempat sandar perahu

Sebuah sungai kecil menjadi tambatan. Di sanalah deretan perahu menunggu tuannya, sebagian baru pulang setelah semalaman mencari ikan. Dulu, saat saya masih kecil, nelayan di sini menggunakan lofi, perahu dari batang kayu utuh yang dipahat memanjang.

Kini, lofi nyaris tak terdengar lagi. Yang terlihat adalah soppe atau jonsong, perahu papan ramping buatan tangan, lebih ringan dan lebih cepat. Perahu-perahu itu menjadi saksi pergantian zaman, ketika kayu besar semakin langka dan keterampilan tradisional perlahan digantikan kebutuhan yang lebih praktis.

Nelayan datang silih berganti. Ada yang mengandalkan panambe, alat tangkap sederhana berbentuk pancing panjang. Ada yang memakai jabba atau lanra, masing-masing dengan teknik khasnya. Sementara itu, segelintir nelayan tetap bertahan dengan cara lama massulo, berburu ikan di malam hari dengan tombak dan cahaya lampu minyak.

Hasil tangkapan salah satu nelayan yang menggunakan PANAMBE

Sebuah pemandangan yang kian jarang, tapi menyimpan romantika tersendiri seperti cerita yang ingin tetap hidup meski dikepung perubahan.

Di tepi tambatan, seorang perempuan duduk menunggu. Namanya Ibu Ira, 58 tahun. Tatapannya sesekali menelusuri permukaan air, mencari perahu suaminya yang belum kembali. Saya mendekat, memperkenalkan diri, lalu membuka percakapan tentang Tanah Koti.

Ia tersenyum, tapi wajahnya ragu. “Kalau tanah koti, saya tidak tahu, Nak. Yang saya tahu, keluarga kami tidak punya kebun di pesisir sini. Kami hanya hidup dari danau,” ucapnya.

Jawaban sederhana itu membuat saya berpikir. Sebuah istilah yang begitu besar bagi sebagian orang, ternyata asing bagi sebagian yang lain.

Vegetasi pesisir danau yang didominasi oleh Tellang tellang manu, Lare, Tulo, Colang-colang, Cebbe, dan Ennung

Danau Tempe adalah danau yang hidup, airnya naik-turun, menelan daratan lalu memuntahkannya kembali. Saat musim hujan, air meluap hingga jalan dan permukiman terendam. Orang menyebutnya lempe, banjir yang bisa bertahan berbulan-bulan. Namun saat kemarau panjang, air menyusut drastis hingga dasar danau bisa diseberangi dengan berjalan kaki, dari Wajo ke Sidrap atau Belawa.

Pada saat itulah, tanah yang ditinggalkan air berubah menjadi rahmat. Hamparan tanaman air tellang-tellang manu, colang-colang (enceng gondok), lare (kangkung), cebbe, tulo, hingga ennung, mengering dan membusuk, menjadi pupuk alami yang menyuburkan lahan. Warga pesisir pun turun menanami jagung, kacang hijau, semangka, cabai, hingga sayuran.

Namun, yang membuat budaya ini istimewa bukan hanya pada kesuburan tanahnya, melainkan pada cara mereka mengelolanya. Tidak ada satu orang pun yang berhak menguasai tanah surut itu selamanya. Lahan dibagi rata, ukuran sekitar 30 x 100 meter. Nama warga dicatat, diberi nomor, lalu dilakukan undian. Setiap tahun, proses ini diulang kembali. Tidak ada tuan tanah, tidak ada penguasa lahan, hanya kesepakatan bersama bahwa semua orang berhak mendapat kesempatan.

Lahan pesisir danau yang sudah mulai diolah sebagai lahan pertanian

Itulah yang disebut Tanah Koti. Sebuah sistem yang mungkin sederhana, tetapi sarat makna, berbagi, merata, dan adil. Dalam Tanah Koti, tidak ada yang lebih kaya atau lebih miskin dari yang lain. Semua diberi ruang yang sama untuk hidup dari tanah yang sementara.

Saya kemudian bertemu Muhammad, seorang nelayan yang juga pernah bertani di lahan surut. Ia bercerita sambil menatap jauh ke arah danau, seakan sedang mengingat masa-masa lampau.

“Dulu tanah koti itu berjalan baik. Semua dapat bagian, jadi nelayan juga bisa berkebun. Tapi sekarang sudah jarang dilakukan, karena air danau makin jauh ke dalam, banyak orang juga sudah punya lahan sendiri. Jadi tanah koti tinggal cerita,” katanya.

Ada nada getir dalam ucapannya. Hilangnya Tanah Koti bagi Muhammad mungkin bukan sekadar hilangnya sistem pembagian lahan, melainkan hilangnya satu nilai besar yaitu kebersamaan.

Sebagian nelayan yang pergi pagi mencari ikan di danau, Lanra Esso (nelayan siang)

Saya termenung. Bayangkan, sebuah budaya turun-temurun yang lahir dari kesadaran bahwa tanah dan air bukan untuk dimiliki, melainkan untuk dikelola bersama. Tanah Koti adalah simbol dari sebuah filosofi hidup, manusia hanyalah singgah, sementara tanah dan air akan tetap ada. Hari ini kita menanam, esok giliran orang lain.

Namun, zaman bergerak cepat. Sistem itu memudar, tergeser oleh pola kepemilikan pribadi dan kebutuhan ekonomi yang semakin kompleks. Danau Tempe masih sama, pasang surutnya tetap menata ritme hidup warga. Tetapi Tanah Koti, yang dulu menjadi bagian dari denyut kebersamaan, kini mulai ditinggalkan.

Pertanyaannya, apa yang hilang dari kita ketika sebuah budaya berbagi pelan-pelan menghilang?

Pagi di Ujunge terus berjalan. Nelayan kembali dengan ikan, perahu ditambatkan. Air danau tetap pasang surut, tanaman air tetap tumbuh dan mati silih berganti. Namun Tanah Koti, warisan kearifan lokal yang pernah menjaga keadilan sosial di pesisir ini, kini tinggal kenangan yang tersimpan dalam cerita orang-orang seperti Muhammad.

Mungkin yang paling berharga dari Tanah Koti bukanlah tanahnya, melainkan pesan moralnya, bahwa hidup yang adil hanya bisa dibangun ketika kita mau berbagi, meski dengan sesuatu yang tidak bisa kita miliki selamanya.