KEPEMUDAANPERSPEKTIF

Sumpah Pemuda di Tangan Anak Muda Soppeng

×

Sumpah Pemuda di Tangan Anak Muda Soppeng

Sebarkan artikel ini

“Mereka tidak sibuk membuat janji, tapi sibuk bekerja. Dan mungkin, justru di tangan mereka yang berlumur tanah, oli, dan debu, semangat Sumpah Pemuda paling murni sedang dijaga”

Setiap tahun, tanggal 28 Oktober datang dengan upacara dan pidato penuh semangat. Kalimatnya hampir selalu sama: “Pemuda adalah harapan bangsa.”

Tapi di luar ruang rapat dan aula peringatan, semangat pemuda sebenarnya sedang hidup bukan di podium, melainkan di sawah, di jalan, di pasar, dan di warung-warung kecil yang dijalankan anak muda Soppeng.

Mereka tidak menunggu perintah atau program besar. Mereka bekerja, berjuang, dan menolak malu untuk memulai dari bawah.

Pemuda yang Tidak Malu Menjadi Petani

Di banyak desa di Soppeng, banyak anak muda yang memilih bertani. Mereka turun ke sawah pagi-pagi, menanam padi, berkebun, tanam cabai, dan sayur-sayuran. Mereka tahu hasilnya tidak besar, tapi mereka tetap bertahan karena percaya bahwa bekerja di tanah sendiri lebih mulia daripada menganggur di kota.

 “Saya tidak malu jadi petani. Yang penting halal,” kata mereka

Mereka adalah wajah sejati Sumpah Pemuda, yang mencintai tanah air bukan lewat slogan, tapi lewat tanah yang benar-benar digarap.

Kedai Pinggir Jalan dan Semangat Mandiri

Di sepanjang jalan poros Cabbenge, banyak terlihat kedai kopi, gerobak minuman, dan warung kecil yang dikelola anak-anak muda. Modalnya kecil, tapi niatnya besar. Ada yang menjual kopi sachet, minuman kekinian, sampai gorengan dan mi rebus.

Kontainer di poros Cabbenge

Tempat sederhana itu bukan sekadar tempat jualan, tapi juga ruang hidup baru. Dari situ, mereka belajar berdiri sendiri dan membuktikan bahwa kemandirian tidak harus menunggu kesempatan besar. Mereka tidak malu berjualan di pinggir jalan, karena di sanalah mereka menemukan harga diri.

Anak Muda di Jalanan: Kurir dan Pedagang Rongsokan

Sementara itu di Kota Soppeng, semakin banyak anak muda yang bekerja sebagai kurir mandiri. Mereka menggunakan motor pribadi, menerima pesanan lewat telepon atau pesan singkat, dan mengantar barang dari rumah ke rumah.

Mereka tidak punya atasan, tapi punya tanggung jawab besar, menjaga kepercayaan pelanggan.

“Saya kerja sendiri, bukan pengangguran. Cuma tidak di kantor,” ujar salah seorang kurir muda sambil tertawa.

Ada juga yang memilih jual beli rongsokan motor dan besi tua.

Pekerjaan ini sering dipandang sebelah mata, tapi dari situ mereka bisa menafkahi keluarga. Mereka keliling kampung, mengumpulkan besi, kabel, dan motor bekas untuk dijual kembali.

Jual beli sparepart motor bekas, sekaligus kurir

Dari barang bekas, mereka menciptakan kehidupan baru.

Pasar yang Menjadi Sekolah Kehidupan

Di pasar-pasar tradisional, wajah pemuda Soppeng juga tampak di balik meja jualan. Mereka menata sayur, buah, dan sembako sejak subuh. Tidak ada panggung besar untuk mereka, tapi di sanalah semangat kerja keras tumbuh disiplin, jujur, dan pantang menyerah.

Pasar menjadi sekolah yang tidak memberikan ijazah, tapi mengajarkan hal yang lebih penting: tanggung jawab dan ketulusan.

Makna Baru Sumpah Pemuda

Sumpah Pemuda 1928 adalah janji untuk bersatu dan berjuang membangun bangsa. Di Soppeng hari ini, semangat itu hadir dalam bentuk lain.

Di tangan-tangan anak muda yang bekerja tanpa gengsi, yang tidak menunggu bantuan, dan tidak takut mulai dari nol.

Mereka bersatu bukan lewat organisasi besar, tapi lewat kesadaran yang sama, bahwa hidup harus diusahakan, bukan ditunggu.

Negeri ini tidak kekurangan pemuda pintar bicara. Yang dibutuhkan justru pemuda yang mau menanam, mau berdagang, mau mengantar barang, mau mengumpulkan rongsokan, mau membuka kedai kecil di pinggir jalan.

Mereka tidak sibuk membuat janji, tapi sibuk bekerja. Dan mungkin, justru di tangan mereka yang berlumur tanah, oli, dan debu, semangat Sumpah Pemuda paling murni sedang dijaga.