Oleh : H. A. Ahmad Saransi
Dalam khazanah kesusastraan Bugis, nama Retna Kencana Colli Pojie selalu bergema sebagai salah satu sastrawan terbesar yang pernah lahir di bumi Sulawesi Selatan. Dialah penyalin agung naskah epik I La Galigo, karya sastra monumental yang kini diakui dunia sebagai salah satu manuskrip terpanjang di jagat peradaban. Di balik kesunyiannya menulis dan menyalin, Colli Pojie bukan sekadar seorang pallontara’, penulis dan penyalin lontara, tetapi juga seorang pengembara, penyaksi zaman, dan penafsir kehidupan.

Dalam perjalanan intelektual dan spiritualnya, Colli Pojie mengembara ke berbagai daerah di Sulawesi Selatan: Bone atau Lamuru, Barru, Maros, hingga Lompengeng Soppeng. Jejak langkahnya meninggalkan bekas dalam bentuk karya sastra, khususnya èlong atau puisi Bugis sarat makna yang memadukan pengalaman, pengamatan, dan renungan tentang kehidupan dan kematian.
Salah satu bukti jejak pengembaraannya di Soppeng terekam dalam bait èlong berikut:
ᨕᨗᨐ ᨕᨑᨙ᨞ ᨕᨗᨉᨗ ᨕᨑᨙ᨞ ᨆᨈᨙᨀ ᨑᨗ ᨆᨊᨗᨄᨗ ᨈᨍᨙᨂ ᨑᨗ ᨔᨙᨓᨚ᨞
Alih aksara:
Iya arè idi arè. Mattèka ri Manipi. Tajennga’ ri Sèwo”
Artinya:
“Apakah aku atau engkau.Yang lebih dulu menyeberang ke Manipi. Tunggulah aku di Sèwo.”
Sekilas, èlong ini seolah hanya menyebut dua toponim di Soppeng: Manipi dan Sèwo. Namun, maknanya jauh melampaui sekadar penanda tempat. Dalam tafsir Colli Pojie, Manipi bukan sekadar nama wilayah, melainkan metafora dunia akhirat, tempat tujuan terakhir manusia setelah meninggalkan dunia fana. Sementara itu, Sèwo atau sèwong merujuk pada tradisi memasak umbi-umbian dalam belanga tanah liat yang kemudian ditutup rapat dan dibakar perlahan.
Dari simbol inilah lahir asosiasi filosofis bahwa Sèwo dimaknai sebagai liang lahat, tempat tubuh manusia “dimatangkan” oleh tanah, kembali menjadi bagian dari bumi.
Dengan demikian, makna mendalam dari èlong ini dapat ditafsirkan sebagai pesan spiritual:
“Jika aku atau engkau yang lebih dulu wafat, maka tunggulah aku di liang lahat, sebab pada akhirnya kita akan kembali bersatu di alam keabadian.”
Bait èlong tersebut bukan sekadar ungkapan rasa, melainkan renungan Colli Pojie tentang kefanaan hidup dan kepastian kematian. Ia memadukan keindahan bahasa Bugis dengan simbol-simbol budaya lokal Soppeng, menghadirkan karya yang menyentuh batin sekaligus sarat filsafat.
Soppeng, dengan lanskapnya yang subur, menjadi salah satu ruang inspirasi Colli Pojie. Dari Manipi yang melambangkan batas antara dunia dan akhirat, hingga Sèwo yang menjadi simbol peristirahatan terakhir, semua dikristalkan dalam bentuk èlong yang indah. Karya-karya seperti ini menunjukkan betapa Colli Pojie bukan sekadar penyalin I La Galigo, tetapi juga seorang pemikir, penyair, dan penjaga makna budaya Bugis.
Melalui èlong-èlongnya, ia mengajarkan kita untuk memahami kehidupan dengan kesadaran bahwa setiap perjalanan, sejauh apa pun, pada akhirnya bermuara pada satu titik: kembali kepada Sang Pencipta.