Oleh: DR. Irwan, S.Pd., S.Sos., M.Pd Dewan Pendidikan Kabupaten Soppeng
Kasus seorang kepala sekolah di SMAN 1 Cimarga, Kabupaten Lebak, Banten, yang menampar siswa karena merokok di lingkungan sekolah, kembali menggugah nurani dunia pendidikan.
Di tengah tuntutan untuk menegakkan disiplin, para pendidik kini dihadapkan pada dilema moral: bagaimana menindak pelanggaran siswa tanpa melanggar etika profesi dan nilai kemanusiaan?
Kejadian di Lebak sejatinya bukan sekadar persoalan individu guru dan siswa, tetapi potret dari kompleksitas sosial yang melingkupi dunia pendidikan kita. Sekolah adalah miniatur masyarakat, tempat di mana nilai-nilai moral, disiplin, dan tanggung jawab sosial dipertarungkan setiap hari.
Ketika seorang siswa memilih untuk merokok di area sekolah, ia bukan hanya melanggar tata tertib, tetapi juga memperlihatkan adanya kesenjangan antara norma yang diajarkan dan perilaku yang dihayati.
Dari perspektif sosiologi pendidikan, perilaku siswa yang melanggar aturan sering kali merupakan refleksi dari proses sosialisasi yang belum sempurna. Anak-anak kita tumbuh di tengah arus budaya populer yang glamor, media sosial yang permisif, dan lingkungan yang tidak selalu mendukung nilai-nilai sekolah.
Maka, tindakan disipliner yang diberikan guru tidak seharusnya berdiri sendiri, tetapi menjadi bagian dari sistem sosial yang lebih luas — yang melibatkan keluarga, masyarakat, dan kebijakan pendidikan itu sendiri.
Namun yang menjadi persoalan adalah bentuk sanksi yang diberikan. Kekerasan fisik, betapapun kecil, tidak bisa dijustifikasi dalam praktik pendidikan modern. Tamparan mungkin lahir dari emosi sesaat atau rasa tanggung jawab seorang guru, tetapi dalam perspektif sosiologis, tindakan itu justru dapat memperkuat kultur ketakutan di lingkungan sekolah.
Alih-alih menumbuhkan kesadaran, hukuman fisik sering kali menanamkan rasa dendam, malu, dan resistensi terhadap otoritas pendidik.
Di sisi lain, guru dan kepala sekolah juga tidak boleh kehilangan wibawa. Dalam masyarakat yang menghormati nilai-nilai moral dan adat, guru masih dipandang sebagai figur sosial yang memiliki tanggung jawab mendidik tidak hanya di ruang kelas, tetapi juga dalam pembentukan karakter.
Karena itu, yang dibutuhkan bukanlah pembiaran terhadap pelanggaran, melainkan transformasi cara mendisiplinkan.
Sebagai Dewan Pendidikan, kami berpandangan bahwa penegakan disiplin harus diarahkan pada pendidikan yang memulihkan (restorative discipline). Sanksi terhadap siswa sebaiknya bersifat edukatif, membangun tanggung jawab sosial, dan menanamkan kesadaran moral.
Misalnya, siswa yang kedapatan merokok dapat diminta membuat refleksi tertulis tentang bahaya rokok, melakukan kampanye “Sekolah Sehat Tanpa Rokok”, atau menjadi relawan kebersihan sekolah. Dengan cara ini, hukuman berubah menjadi proses pembelajaran sosial yang melibatkan nilai, tindakan, dan tanggung jawab bersama.
Selain itu, penting bagi sekolah untuk memperkuat pendidikan karakter dan komunikasi empatik antara guru dan siswa. Kepala sekolah dapat membangun forum dialog dengan siswa pelanggar agar mereka memahami alasan di balik aturan, bukan sekadar takut pada sanksi.
Pendekatan ini sejalan dengan prinsip sosiologis bahwa perubahan perilaku lahir dari kesadaran sosial, bukan paksaan.
Kasus Cimarga seharusnya menjadi pelajaran berharga bagi dunia pendidikan, termasuk bagi kita di Kabupaten Soppeng. Disiplin memang harus ditegakkan, tetapi kekerasan tidak pernah menjadi solusi jangka panjang.
Pendidikan sejati adalah proses membangun manusia seutuhnya yaitu berpikir kritis, beretika, dan bertanggung jawab atas tindakannya.
Sebagai masyarakat yang menjunjung nilai-nilai kearifan lokal, kita juga diajarkan untuk mendidik dengan hati. Dalam budaya Bugis-Makassar dikenal pepatah, “malilu sipakainge, mainge sipakalebbi”, jika salah, saling mengingatkan dan jika benar, saling memuliakan.
Prinsip ini dapat menjadi dasar bagi guru, kepala sekolah, dan orang tua dalam membentuk budaya disiplin yang humanis di sekolah-sekolah kita.
Akhirnya, marilah kita jadikan peristiwa di Lebak bukan sebagai bahan kecaman, melainkan sebagai momentum refleksi. Dunia pendidikan membutuhkan guru yang tegas tetapi bijaksana, kepala sekolah yang berwibawa tetapi berempati, dan siswa yang belajar disiplin bukan karena takut hukuman, melainkan karena paham arti tanggung jawab sosial.
Hanya dengan cara itu, sekolah akan tetap menjadi ruang yang mendidik, bukan menakutkan.