Review Buku “Filsafat Politik Pancasila” karya Mappasessu, S.H., M.H.
“Arung Bila mengundang 60 matoa (30 dari Soppeng Riaja dan 30 dari Soppeng Rilau) dalam sebuah forum deliberasi besar. Di sanalah penderitaan rakyat dibicarakan bersama, solusi dicari, dan legitimasi kepemimpinan dibangun”
Demokrasi hari ini tengah berada di persimpangan. Dari Amerika hingga Asia, dari Eropa hingga Indonesia, suara rakyat memang didengar lewat pemilu, tetapi pertanyaan besarnya adalah apakah pilihan itu sungguh melahirkan pemimpin yang bermoral? Ataukah justru hanya melahirkan elite yang pandai bermain citra?
Buku Filsafat Politik Pancasila (Agama Sipil, Republik Filsuf, dan Latoa Bugis) karya Mappasessu, S.H., M.H., mencoba menanggapi keresahan ini. Terbit pada 2025 oleh Goresan Pena, buku ini menawarkan perspektif unik yaitu menggabungkan filsafat politik Barat, khazanah Islam, dan tradisi lokal Bugis dalam membicarakan masa depan demokrasi Indonesia.
Demokrasi yang Tersendat
Mappasessu mengingatkan, demokrasi modern penuh janji tetapi juga paradoks. Ia menjanjikan partisipasi rakyat, tetapi yang terjadi sering kali justru polarisasi, politik uang, dan pragmatisme dangkal. Media sosial yang mestinya menjadi ruang literasi politik, malah kerap menjadi arena propaganda dan perpecahan.
Dari sinilah muncul pertanyaan penting: apakah demokrasi kita masih sanggup melahirkan pemimpin yang adil, bijak, dan bermoral?
Pancasila Sebagai Agama Sipil
Jawaban Mappasessu berangkat dari Pancasila. Ia mengusulkan agar Pancasila tidak diperlakukan sekadar sebagai teks formal pembukaan UUD 1945 atau jargon upacara, melainkan dihidupi sebagai civil religion, sebuah moral publik bersama yang melintasi batas agama dan etnis.
Dalam pengertian ini, Pancasila bisa berfungsi sebagai simpul perekat bangsa sekaligus etika politik yang menuntun para pemimpin.
Republik Filsuf dan Filsafat Nusantara
Inspirasi berikutnya datang dari filsafat klasik. Plato pernah menegaskan, negara ideal sebaiknya dipimpin filsuf, yakni mereka yang cinta kebijaksanaan. Al-Fārābī mengembangkannya dalam al-Madīnah al-Fadilah, negara utama yang dipimpin manusia berbudi luhur.
Namun, Mappasessu tidak berhenti pada khazanah Yunani dan Islam. Ia menengok warisan Nusantara, khususnya tradisi Latoa Bugis, yang bagi penulis tidak kalah filosofis dibanding gagasan Barat.
Demokrasi Arung Bila: Inspirasi dari Bugis
Bagian paling menarik buku ini adalah kisah Arung Bila di Soppeng, Sulawesi Selatan. Pada masa penuh krisis, kelaparan, ketiadaan pemimpin, dan kekacauan sosial; Arung Bila tampil bukan dengan kekuatan senjata, melainkan dengan inisiatif musyawarah.
Ia mengundang 60 matoa (30 dari Soppeng Riaja dan 30 dari Soppeng Rilau) dalam sebuah forum deliberasi besar. Di sanalah penderitaan rakyat dibicarakan bersama, solusi dicari, dan legitimasi kepemimpinan dibangun.
Antropolog Christian Pelras dalam bukunya Latoa menyebut tradisi ini sebagai inti etika politik Bugis: kepemimpinan yang lahir dari musyawarah, bukan warisan darah atau dominasi militer. Inilah bentuk “proto-parlemen” lokal, jauh sebelum Indonesia mengenal konsep demokrasi modern.
Arung Bila dan para matoa mengajarkan bahwa legitimasi kekuasaan sejati bersumber dari konsensus rakyat. Demokrasi deliberatif, yang kini sering diasosiasikan dengan konsep Barat, ternyata sudah lama hidup dalam kebudayaan Nusantara.
Pemimpin Transenden Deliberatif
Dengan menautkan Bellah (agama sipil), Plato (republik filsuf), al-Fārābī (negara utama), dan Arung Bila (Latoa Bugis), Mappasessu sampai pada tawaran: Indonesia membutuhkan pemimpin transenden deliberatif.
Yaitu pemimpin yang bukan hanya cerdas, tetapi bermoral. Bukan hanya religius, tetapi juga mampu bermusyawarah. Bukan hanya mengejar kekuasaan, tetapi benar-benar mengabdi pada kebaikan bersama.
Profil Penulis
Mappasessu, S.H., M.H., adalah seorang akademisi hukum yang resah melihat arah demokrasi bangsa. Latar belakang hukumnya membuat ia peka pada aspek normatif, tetapi kegemarannya meneliti budaya Bugis memperkaya perspektif filosofis dan historisnya.
Buku ini menunjukkan keberanian seorang akademisi untuk keluar dari pola pikir mainstream: alih-alih mengulang slogan Pancasila, ia menghidupkan kembali perdebatan filosofis tentang Pancasila dan menyandingkannya dengan tradisi lokal Nusantara.
Mengapa Buku Ini Penting
Di tengah krisis demokrasi yang kerap dipenuhi transaksi politik, buku ini hadir sebagai pengingat bahwa bangsa Indonesia memiliki modal spiritual dan kultural untuk memperbaiki diri.
Arung Bila dan tradisi Latoa menunjukkan bahwa demokrasi deliberatif bukan barang impor, melainkan bagian dari DNA politik Nusantara. Sementara Pancasila, bila benar-benar dijalani sebagai agama sipil, bisa menjadi moral publik yang menghidupi demokrasi.
Membaca buku ini, kita diingatkan: demokrasi sejati bukanlah sekadar prosedur lima tahunan, melainkan kepemimpinan yang lahir dari musyawarah, bermoral, dan berpihak pada rakyat.