Oleh: HAM. Zulkarnain – Infotren24.com
Sulawesi Selatan, yang selama ini dikenal dengan kekayaan pertanian dan hasil lautnya, kini mulai menapaki babak baru dalam sektor industri perkebunan. Di tengah dominasi sentra sawit dari Sumatra dan Kalimantan, muncul satu inisiatif bersejarah dari ujung timur provinsi ini yakni produksi minyak goreng sawit murni dari kebun lokal di Luwu Timur dengan merek dagang LIMOIL.
Langkah ini menandai babak penting bagi Sulawesi Selatan untuk pertama kalinya, proses hilirisasi sawit dilakukan secara penuh dari hulu ke hilir di satu kawasan industri: mulai dari pengolahan tandan buah segar (TBS) hingga menjadi minyak goreng siap konsumsi.
Pusat produksi LIMOIL berada di Kecamatan Angkona, Kabupaten Luwu Timur, sebuah wilayah yang menjadi salah satu sentra perkebunan sawit Sulsel. Luas kebun sawit di kabupaten ini mencapai 9.806 hektare per Desember 2023, meningkat dari tahun sebelumnya seiring bertambahnya jumlah pekebun mandiri dan plasma.
Di lokasi inilah PT Inti Aset Sulawesi Indonesia membangun fasilitas pemurnian minyak goreng yang terintegrasi dengan sumber bahan bakunya. Dengan kapasitas produksi 50.000 liter per bulan, pabrik ini tidak hanya mengolah hasil sawit lokal, tetapi juga menjadi model hilirisasi yang menempatkan nilai tambah di wilayah asal bahan baku.
“Selama ini sawit dari Sulawesi Selatan dikirim ke luar daerah untuk diolah. LIMOIL hadir untuk memutus rantai itu. Kami ingin manfaat ekonomi tetap di daerah,” ujar salah satu pengelola LIMOIL saat ditemui di kawasan industri Angkona.
Menjawab Tantangan Kebutuhan Lokal
Kebutuhan minyak goreng rumah tangga di Sulawesi Selatan mencapai angka yang besar. Berdasarkan estimasi konsumsi nasional—sekitar 9,56 kilogram per kapita per tahun—maka dengan jumlah penduduk 9,4 juta jiwa, total kebutuhan minyak goreng di provinsi ini diperkirakan mencapai 89.864 ton per tahun.
Dalam konteks ini, kapasitas produksi LIMOIL memang baru sebagian kecil dari total kebutuhan tersebut. Namun kehadirannya membuka peluang untuk mengurangi ketergantungan pasokan dari luar wilayah sekaligus menumbuhkan industri pengolahan sawit di tingkat lokal.
Produk Segar dan Higienis dari Kebun Lokal
Berdasarkan hasil analisis laboratorium Balai Besar Standardisasi dan Pelayanan Jasa Industri Agro (BBSPJIA), laporan hasil uji bernomor 2305/BBSPJIA/MS.08-LHU/IV/2025 menunjukkan bahwa minyak goreng sawit LIMOIL memiliki kandungan energi total 790 kkal per 100 ml, seluruhnya berasal dari lemak, dengan lemak total 88 gram dan lemak jenuh 41 gram. Produk ini tidak mengandung protein maupun karbohidrat.
LIMOIL dikemas dalam botol plastik PET berukuran 500 ml, 1 liter, dan 2 liter, dengan izin edar BPOM RI MD 122019000100234. Seluruh proses pemurnian dilakukan dalam area industri tertutup yang memenuhi standar higienitas pangan.
Hilirisasi Sawit Pertama di Sulawesi Selatan
Hadirnya LIMOIL menjadi tonggak penting bagi Sulawesi Selatan, karena hingga kini belum ada industri lain yang mengolah langsung tandan buah segar menjadi minyak goreng siap edar di wilayah ini. Artinya, seluruh proses produksi, mulai dari pengumpulan buah, pemurnian, hingga pengemasan, berlangsung di satu kawasan.
Bagi pemerintah daerah, langkah ini sejalan dengan arah kebijakan nasional yang menekankan hilirisasi sektor perkebunan sebagai strategi pemerataan ekonomi dan peningkatan nilai tambah. Selain membuka lapangan kerja baru, industri seperti LIMOIL berpotensi menekan biaya logistik dan memperkuat daya saing daerah di sektor agroindustri.
Potensi Menjadi Model Nasional
Keberhasilan LIMOIL di Angkona memberi contoh nyata bagaimana daerah non-Sumatra dan non-Kalimantan dapat berperan dalam rantai industri sawit nasional. Dengan dukungan kebijakan daerah dan kemitraan pekebun, hilirisasi sawit di Sulawesi Selatan dapat tumbuh menjadi sektor strategis baru yang menopang ketahanan pangan.
LIMOIL bukan sekadar merek minyak goreng baru. Ia adalah simbol dari upaya menempatkan nilai ekonomi di tangan masyarakat daerah penghasil. Di tengah tantangan distribusi dan fluktuasi harga minyak goreng nasional, langkah Luwu Timur menjadi pengingat bahwa hilirisasi bukan hanya jargon industri, tetapi strategi konkret membangun kemandirian ekonomi daerah.