BUDAYAEKONOMIINFO SOPPENGPERSPEKTIF

Jejak Tembakau Palangiseng (4): Warisan Tanpa Nama Resmi

×

Jejak Tembakau Palangiseng (4): Warisan Tanpa Nama Resmi

Sebarkan artikel ini

Oleh Redaksi Infotren24

Kunjungan singkat kami ke Desa Palangiseng, Kecamatan Lilirilau, Kabupaten Soppeng, menyisakan banyak pertanyaan yang belum terjawab. Dari cerita Lato Beddu Haling, muncul tiga nama yang terdengar seperti mantra: Ico Se’ Bolong, Ico Nyelle, dan Ico Lambau. 

Tiga nama ini bukan berasal dari laboratorium atau katalog varietas resmi, melainkan lahir dari pengalaman panjang para petani lokal dalam merawat tembakau dengan cara mereka sendiri.

Bibit kampung ini telah tumbuh di tanah Palangiseng jauh sebelum hadirnya benih impor atau pupuk bersubsidi. “Kalau musim bagus, tembakau kami dulu dicari orang. Sekarang sudah jarang yang menanam,” ujar Lato Beddu, sambil menunjuk hamparan tanah yang kini lebih sering ditanami jagung.

Tembakau yang Terpinggirkan

Hari ini, harga tembakau lokal Palangiseng hanya berkisar antara Rp 50.000 hingga Rp 75.000 per kilogram. Angka ini jauh tertinggal dibanding tembakau luar yang dibeli oleh pengusaha lokal dengan harga Rp 150.000 hingga Rp 250.000 per kilogram. Bahkan, jika menengok ke daerah lain, harga tembakau Srintil dari Temanggung bisa mencapai Rp 5 juta per kilogram. Tembakau Campalok dari Madura berada di kisaran Rp 1.000.000 – Rp 2.000.000/kg, Gayo dari Aceh Rp 85.000 – Rp 450.000/kg, sementara Siluk (Situbondo) dan Ploso (Yogyakarta) sekitar Rp 325.000 – Rp 330.000/kg.

Selisih harga ini bukan semata soal kualitas daun. Ia mencerminkan keterpinggiran: bibit yang tak dikenali, teknik budidaya yang seadanya, pengolahan pasca panen yang tak pernah ditingkatkan, serta sistem pasar yang lebih menyukai sesuatu dari luar. Padahal, kualitas tak selalu ditentukan oleh nama besar.

Apa yang tumbuh di Palangiseng bukan berarti tidak punya potensi. Ia hanya belum diberi ruang yang layak untuk berkembang.

Tanah yang Bersuara, Tapi Tak Didengarkan

Palangiseng tidak kekurangan potensi—yang kurang adalah perhatian. Dengan topografi datar hingga berbukit ringan, suhu harian antara 24–30°C, dan curah hujan tahunan 1.700–1.900 mm, wilayah ini sesungguhnya layak disebut sebagai kawasan potensial untuk pertanian tembakau, jika didukung dengan pengelolaan yang tepat.

Jenis tanahnya beragam: tanah alluvial di sekitar sungai yang subur cocok untuk varietas Virginia; gromosol dan regosol cocok bagi varietas lokal seperti Siluk atau Ploso; mediteran coklat yang menyimpan kelembapan cukup baik; serta litosol yang tipis dan rentan, lebih sesuai untuk tanaman konservasi.

Sayangnya, belum ada pemetaan zona lahan secara ilmiah. Yang ada baru pengetahuan lisan dari petani seperti Lato Beddu, yang mengandalkan pengalaman puluhan musim tanam.

Bibit Kampung yang Tak Tercatat

Ico Se’ Bolong, misalnya, dikenal memiliki daun lebar dan aroma kuat saat dikeringkan. Ico Nyelle lebih tahan terhadap musim kering. Sementara Ico Lambau tumbuh cepat dan cocok ditanam di tanah yang tidak terlalu dalam.

Namun, itu semua masih cerita. Belum ada satu pun dari ketiganya yang diuji di laboratorium atau tercatat sebagai varietas nasional. Yang pasti, mereka tumbuh, mereka menghasilkan, dan mereka menyimpan jejak panjang ekonomi desa yang kini mulai memudar.

Pengelolaan budidaya juga memegang peranan penting. Teknik penanaman, pengairan, pemupukan, hingga pengolahan pasca panen harus disesuaikan dengan karakteristik tanah dan iklim agar kualitas tembakau meningkat dan mampu bersaing dengan tembakau dari luar daerah.

Jalan Pulang yang Masih Terbuka

Melihat potensi dan tantangan tersebut, harapan besar tertuju pada pemerintah daerah untuk mengambil langkah strategis. Kajian kesesuaian lahan berbasis data ilmiah dan pemetaan mikro digital perlu menjadi prioritas untuk memetakan zona-zona tembakau secara akurat.

Selain itu, penyediaan bibit unggul hasil seleksi, perbaikan varietas lokal, serta pelatihan bagi petani mengenai teknik budidaya dan pengolahan pasca panen harus diperkuat.

Dengan dukungan kebijakan dan sumber daya yang memadai, Palangiseng memiliki peluang besar untuk kembali menjadi sentra tembakau berkualitas—yang bukan hanya membawa kesejahteraan bagi petani lokal, tetapi juga memperkuat identitas dan ekonomi daerah.