Oleh Redaksi Infotren24
Kami mendengarkan Lato Beddu menjelaskan panjang lebar tentang cara bercocok tanam tembakau, mulai dari pengolahan lahan, pola tanam, panen, hingga pengolahan pasca panen. Proses pengeringan dilakukan dengan menjemur di para-para bambu, pengirisan dilakukan manual, dan ada pula yang diasapi untuk menjadi tembakau hitam — ciri khas dari Ico Soppeng.
Setelah dikeringkan dan diolah, tembakau dijual ke pedagang pengumpul, baik yang datang langsung dari kampung maupun yang berasal dari luar. Namun jika harga belum cocok, para petani memilih menyimpannya dalam waktu tak tentu. “Ada yang simpan sampai puluhan tahun,” ucapnya.
Sebagian orang percaya, semakin lama tembakau disimpan, semakin bagus kualitasnya. Tapi, menurut logika sederhana kami, peningkatan kualitas aroma dan rasa itu tidak sebanding dengan harapan harga yang meningkat drastis. Justru menyimpan terlalu lama bisa menahan perputaran modal dan biaya produksi.
Salah satu hal paling mengesankan dari cerita Lato Beddu adalah bagaimana seluruh proses bertani tembakau masih dijalankan dengan semangat gotong royong yang tulus, tanpa bayaran.
“Kalau ada yang mau bersihkan lahan, tanam, atau jemur, tinggal bilang ke warga. Nanti datangmi itu, kadang sampai dua puluh orang,” katanya sambil tersenyum.
Semua dilakukan bersama, dari membuka dan membersihkan lahan, menanam, memetik, mengiris, hingga menjemur daun tembakau.
Ada semacam rotasi kerja sosial antar keluarga dan tetangga — balas-membalas tenaga tanpa perlu perhitungan uang.
Dalam banyak tahap, kegiatan itu dikenal dengan istilah lokal seperti: Uteng (memetik daun), Mallulung (menumpuk daun), Caleppiri (menyortir dan memilih daun terbaik), Mattale Tabba (menata tembakau di wadah bambu), dan Riafung (menjemur malam hari agar terkena embun). Ini bukan sekadar proses bertani, tapi bagian dari identitas sosial yang masih hidup di kampung ini — walau tekanan zaman perlahan mengguratnya.
Menjelang sore, beberapa pemuda kampung ikut bergabung. Obrolan pun melebar. Saat ditanya tentang dukungan pemerintah, mereka sepakat bahwa dulu pernah ada penyuluhan, pelatihan, bantuan mesin pengiris, bahkan studi banding. Tapi kini semuanya seperti terhenti. Harapan perlahan memudar, tertutup oleh realita harga jual yang stagnan.
Para pemuda itu mengeluhkan bahwa harga tembakau olahan mereka hanya berkisar Rp 50.000 per kilogram, dan itu pun sudah termasuk kualitas bagus. Dalam kondisi terbaik, harga hanya menyentuh Rp 75.000/kg. Mereka makin sedih karena tahu bahwa beberapa pengusaha rokok di Soppeng justru membeli tembakau dari Jawa dengan harga Rp 150.000 hingga Rp 250.000 per kilogram.
“Kami tidak minta sama, cukup harganya mendekati tembakau dari luar,” kata salah satu dari mereka.
Kisah Lato Beddu Haling dan warga Palangiseng bukan hanya tentang komoditas. Ia adalah narasi warisan agrikultur, tradisi sosial, dan semangat gotong royong yang tetap hidup — meski harga tak bersahabat dan perhatian pemerintah kian surut.
Tembakau di sini bukan sekadar daun kering. Ia adalah jalinan sejarah, relasi sosial, dan nilai hidup yang diwariskan lintas generasi. Namun, bila ketimpangan harga terus terjadi, dan semangat kolektif tak diberi ruang tumbuh, bisa jadi tembakau hanya tinggal cerita — disimpan di rak rumah seperti tembakau tua yang tak laku dijual.
Sore itu, suara azan magrib mulai terdengar dari kejauhan. Kami berdiri, menyalami Lato Beddu dan para pemuda, lalu kembali ke kampung. Tapi cerita hari itu belum selesai. Masih banyak kisah yang tercatat dalam catatan kami — yang akan dituliskan pada laporan berikutnya.