SOPPENG – Dari ruang kelas sederhana di SD Negeri 140 Masumpu, Kecamatan Marioriwawo, Kabupaten Soppeng, muncul satu inovasi yang kini menjadi perhatian dunia pendidikan Sulawesi Selatan. Inovasi itu bernama “Asisten Digital Belajar Ekosistem (ADE)”, hasil gagasan Agus Supramono, S.Pd., Gr., M.Pd., yang baru saja dinobatkan sebagai Terbaik I kategori Guru Transformatif jenjang SD pada ajang Apresiasi Guru dan Tenaga Kependidikan (GTK) 2025 tingkat Provinsi Sulawesi Selatan.
Dengan capaian tersebut, Agus akan mewakili Sulsel ke tingkat nasional dalam puncak perayaan Hari Guru Nasional 25 November 2025. Namun, yang membuat Agus menarik bukan sekadar prestasinya, melainkan cara berpikirnya tentang bagaimana pembelajaran seharusnya berlangsung di sekolah dasar di abad ke-21.
Dari Hafalan ke Pemahaman
Sebelum program ADE dijalankan, Agus menghadapi kenyataan umum di sekolah-sekolah pelosok yakni hasil belajar literasi dan numerasi yang stagnan, serta siswa yang cenderung menghafal konsep tanpa memahami makna.
“Saya merasa anak-anak hanya mengingat definisi. Tapi mereka tidak bisa menjelaskan mengapa ekosistem itu penting bagi kehidupan manusia,” kata Agus saat dihubungi infotren24.com
Kegelisahan itu melahirkan program pembelajaran transformatif berbasis digital yaitu ADE (Asisten Digital Belajar Ekosistem) yang dirancang bukan untuk memperbanyak konten, tapi memperdalam pengalaman belajar.
Teknologi yang Relevan dan Kontekstual
Agus memanfaatkan beragam platform yang sebenarnya mudah diakses oleh guru mana pun, seperti Canva, Assemblr Edu, dan Ruang Murid, lalu mengemasnya dalam model pembelajaran Station Rotation.
Setiap stasiun memiliki pengalaman belajar unik, Storybook AR, buku cerita bergambar dengan tema petualangan ekosistem yang bisa dipindai menjadi objek 3D menggunakan Assemblr Edu;
- Aplikasi ADE, platform digital berbasis Canva Code berisi teks, video, simulasi, dan kuis dengan logo berhuruf Lontarak, simbol identitas lokal Soppeng;
- Piramida Makanan, aktivitas manual menyusun piramida rantai makanan;
- dan Ruang Murid, portal digital berisi model 3D rantai makanan yang dapat dieksplorasi melalui Chromebook.
Model ini memungkinkan siswa belajar berpindah-pindah dari satu stasiun ke stasiun lain, menyeimbangkan antara kegiatan digital dan aktivitas nyata.
“Dengan cara ini, anak tidak hanya menonton, tapi berinteraksi, membangun konsep, dan menemukan hubungan antar makhluk hidup,” jelas Agus.
Hasil Terukur dan Dampak Sosial
Program ADE tidak berhenti pada kreativitas, tapi menghasilkan perubahan terukur. Berdasarkan evaluasi yang dilakukan Agus, terdapat peningkatan signifikan pada pemahaman siswa terhadap konsep keseimbangan ekosistem, serta peningkatan skor literasi sains di kelas V.
Namun, yang lebih menarik adalah dampak sosialnya. Siswa yang terlibat dalam program ini menunjukkan perubahan perilaku terhadap lingkungan. Mereka mulai menjaga kebersihan, menanam pohon, dan menolak membuang sampah sembarangan.
“Nilai akademik meningkat, tapi yang paling saya banggakan adalah perubahan sikap mereka. Anak-anak mulai peduli terhadap lingkungan,” tutur Agus.
Dari Masumpu ke Ruang Inspirasi Nasional
Keberhasilan program ADE membuat Agus aktif berbagi praktik baik melalui Kelompok Kerja Guru (KKG) dan webinar pendidikan. Ia percaya bahwa inovasi tidak harus lahir dari sekolah dengan fasilitas mewah, melainkan dari kemauan guru untuk mencari jalan keluar dari masalah belajar di lapangan.
“Saya ingin membuktikan bahwa sekolah kecil pun bisa jadi pusat inovasi. Yang penting guru berani mencoba dan percaya pada potensi siswanya,” ujarnya.
Agus juga menekankan pentingnya identitas lokal dalam pembelajaran digital. Pemilihan huruf Lontarak sebagai logo aplikasi ADE bukan sekadar estetika, tetapi upaya menanamkan kebanggaan budaya Bugis di tengah pembelajaran berbasis teknologi.
Guru Transformatif: Lebih dari Sekadar Pengajar
Dalam konteks kebijakan Merdeka Belajar, kategori “Guru Transformatif” memang diarahkan bagi pendidik yang mampu membawa perubahan nyata dalam pembelajaran. Agus termasuk sedikit dari guru yang berhasil menerjemahkan semangat itu ke dalam praktik konkret.
Baginya, mengajar bukan hanya urusan nilai akademik, melainkan tentang membentuk kesadaran dan karakter murid.
“Mengajar bukan sekadar membuat siswa tahu dan meraih nilai tinggi, tapi menuntun mereka agar mampu menggunakan pengetahuan itu untuk memahami, memecahkan, dan memperbaiki kehidupan di sekitarnya,” ujarnya, mengutip prinsip yang selalu ia tuliskan di ruang kelasnya.
Tantangan dan Harapan
Keterbatasan infrastruktur digital di sekolah desa tetap menjadi tantangan. Namun Agus menunjukkan bahwa transformasi bisa dimulai dari apa yang ada, bukan menunggu fasilitas ideal. Ia berharap dukungan pemerintah daerah dan Balai Guru serta Komunitas Belajar di Sulsel terus diperkuat agar inovasi seperti ADE dapat dikembangkan lebih luas.
“Jika satu sekolah kecil di Masumpu bisa berubah, bayangkan kalau seratus sekolah melakukan hal serupa,” katanya optimis.
Inovasi yang Tumbuh dari Akar Rumput
Kisah Agus Supramono adalah cermin bahwa perubahan pendidikan tidak selalu lahir dari kebijakan besar, melainkan dari inisiatif guru di akar rumput yang memahami murid dan lingkungannya. Program ADE bukan hanya inovasi digital, tetapi juga gerakan kesadaran ekologis dan transformasi pembelajaran kontekstual di sekolah dasar.
Kini, menjelang ajang GTK tingkat nasional, Agus membawa nama Sulawesi Selatan dengan optimisme. Bukan hanya untuk meraih penghargaan, tetapi untuk menunjukkan bahwa di setiap ruang kelas desa, selalu ada kemungkinan lahirnya guru transformatif yang mengubah masa depan pendidikan Indonesia. (Liputan Khusus Tim Redaksi infotren24.com)






