Film Shi Shu Shuang baru saja dirilis, tetapi gaungnya sudah menggema jauh melampaui komunitas perfilman lokal. Karya terbaru Dr. Muzakkir ini disebut-sebut sebagai salah satu film berani menghadirkan budaya Bugis secara otentik di layar lebar. Dalam sebuah wawancara eksklusif, sutradara yang juga akademisi ini membuka tabir proses kreatif, riset mendalam, serta misi yang ia bawa melalui filmnya.

“Sejak awal saya ingin film ini menjadi persembahan untuk masyarakat Bugis, membuka percakapan dengan tenang. Kami tidak hanya membuat film, kami membangun jembatan antara masa lalu dan masa kini. Ini adalah cara kami mengingatkan generasi muda bahwa budaya Bugis itu kaya, bernilai, dan relevan.” Ujarnya.
Dimulai Dengan Riset Budaya
Perjalanan panjang Shi Shu Shuang dimulai jauh sebelum kamera pertama berputar. Dr. Muzakkir menjelaskan bahwa ia dan timnya menghabiskan waktu berbulan-bulan untuk riset lapangan. Mereka bertemu tokoh adat, budayawan, dan masyarakat desa. Mereka mempelajari bahasa Bugis, mencatat kosakata yang nyaris punah, dan mendokumentasikan tradisi yang masih bertahan.
“Kami mendiskusikan cara berbicara karakter, bagaimana mereka duduk dalam pertemuan adat, bahkan bagaimana rumah mereka ditata. Detail-detail kecil itu penting agar penonton merasakan kehidupan Bugis yang sesungguhnya, bukan sekadar karikatur di layar,” jelasnya.
Riset ini tidak berhenti pada aspek visual saja. Dialog film menggunakan bahasa Bugis di momen-momen penting untuk memberi bobot emosional dan autentisitas. “Bahasa adalah roh budaya. Kami sengaja mempertahankan beberapa percakapan penting dalam bahasa Bugis, lengkap dengan intonasi dan ekspresi yang khas,” tambahnya.
Representasi Identitas Bugis
Dr. Muzakkir menekankan bahwa representasi budaya di layar lebar memiliki tanggung jawab besar. Ia menolak pendekatan yang hanya menjadikan budaya sebagai hiasan latar.
“Bugis bukan hanya sarung, pinisi, atau tarian. Ada nilai yang lebih dalam: siri’ na pacce, hormat kepada orang tua, solidaritas komunitas. Semua itu kami rajut dalam cerita tanpa terasa menggurui,” katanya.
Bagi penonton, ini berarti menyaksikan karakter Bugis yang kompleks yang manusiawi, bukan simbolik semata. Karakter utama dalam Shi Shu Shuang digambarkan menghadapi konflik batin, mempertanyakan masa lalu, namun tetap memegang nilai-nilai adat.
“Kami ingin penonton melihat bahwa karakter Bugis juga berjuang, mencintai, dan belajar seperti kita semua,” ujarnya.
Pesan Moral untuk Generasi Muda
Lebih dari sekadar hiburan, film ini membawa pesan moral yang jelas. Dr. Muzakkir ingin generasi muda Bugis dan penonton Indonesia pada umumnya, melihat nilai-nilai luhur sebagai sesuatu yang relevan, bukan beban masa lalu.
“Saya ingin anak-anak Bugis menonton film ini dan merasa bangga. Nilai gotong royong, kesederhanaan, dan rasa hormat itu bukan sesuatu yang ketinggalan zaman. Justru nilai-nilai itulah yang membuat kita bisa bertahan di tengah arus modernitas,” tegasnya.
Film ini, menurutnya, bukan nostalgia semata. “Saya tidak ingin budaya hanya dipamerkan. Saya ingin budaya dirasakan. Film ini mengajak penonton mengalami, bukan hanya menonton,” tambahnya.
Proses Kreatif yang Menantang
Menggabungkan kekayaan budaya dengan tuntutan sinema modern bukan pekerjaan mudah. “Kami harus memastikan alur cerita menarik bagi penonton muda, tetapi tetap setia pada nilai budaya,” ungkap Dr. Muzakkir.
Ia menceritakan bagaimana proses kreatif melibatkan kolaborasi erat antara penulis skenario, penata artistik, desainer kostum, dan komposer musik. “Lokasi syuting kami pilih di desa-desa otentik Sulawesi Selatan agar suasana terasa hidup. Kostum kami rancang dengan merujuk pada pakaian adat Bugis, bahkan corak kainnya kami teliti agar sesuai,” jelasnya.
Musik juga memegang peranan penting. Tim produksi bekerja sama dengan seniman musik tradisional untuk menggabungkan bunyi-bunyian lokal dengan scoring modern.
“Hasilnya adalah pengalaman sinematik yang kaya rasa, yang membuat penonton merasa berada di tengah-tengah dunia Bugis,” katanya.
Respons Masyarakat dan Resonansi Emosional
Salah satu momen paling berkesan bagi Dr. Muzakkir adalah mendengar respons masyarakat setelah pemutaran awal. “Banyak yang datang kepada saya dan mengatakan mereka merasa terwakili. Ada yang bahkan meneteskan air mata karena merasa cerita ini seperti kisah hidup mereka sendiri,” ungkapnya dengan senyum bangga.
Bagi masyarakat Bugis, representasi yang tepat di layar lebar adalah bentuk penghargaan terhadap identitas kolektif. Generasi muda yang menonton film ini juga menunjukkan antusiasme baru terhadap bahasa dan adat. “Beberapa remaja mengaku mereka jadi ingin belajar bahasa Bugis lebih dalam. Itu dampak yang saya harapkan,” kata Dr. Muzakkir.
Harapan ke Depan
Wawancara ini ditutup dengan refleksi mendalam. Dr. Muzakkir menyampaikan bahwa Shi Shu Shuang hanyalah awal dari misi besarnya. “Saya ingin film ini menjadi jembatan antara generasi. Agar budaya Bugis tidak hanya diingat dalam buku sejarah, tapi hidup dalam keseharian,” katanya.
Ia juga berharap film ini bisa menembus penonton nasional dan bahkan internasional.
“Budaya Bugis punya nilai-nilai universal: cinta, persahabatan, pengorbanan. Semua orang bisa terhubung dengan itu. Saya ingin orang luar Bugis juga melihat keindahan ini,” ujarnya.
Dengan dedikasi yang ia tunjukkan, Shi Shu Shuang bukan hanya film, tetapi pernyataan. Pernyataan bahwa budaya bisa menjadi sumber inspirasi tanpa kehilangan relevansi. Pernyataan bahwa sinema bisa menjadi ruang perjumpaan antara tradisi dan masa depan. Dan yang paling penting, pernyataan bahwa identitas bisa dirayakan, bukan sekadar dikenang.






