“Pernah kuliah penerbangan dan bekerja di kota selama enam bulan, dia memilih pulang kampung bertani dan kini penghasilannya melampaui karyawan biasa”
Infotren24.com, Liliriaja Soppeng. Senin sore (11/8/2025) di Lacappeang, Libukang, Kelurahan Appanang, langit jingga memantul di permukaan pematang sawah. Suara mesin doser memecah keheningan, menelan batang padi yang menguning, sementara puluhan motor pembawa gabah berderet kejar-kejaran di jalan pematang, seperti semut yang tak kenal lelah.
Di tengah riuh panen itu, saya melihat seorang pemuda mengenakan kaos lengan panjang, topi lusuh, dan celana yang sudah belepotan lumpur. Di tangannya, sebuah tongkat kayu ia ayunkan perlahan sambil bersiul, mengarahkan ratusan itik yang bergerak seperti karpet hidup di atas tanah yang baru saja dipanen. Aroma jerami basah bercampur dengan riak air kecil di sela pematang, menjadi latar aktivitas yang begitu alami.
Pemuda itu adalah Aldi (32), warga Sumber Jati, Kelurahan Pajalesang, Kecamatan Lilirilau. Bagi Aldi, sawah bukan sekadar tanah yang ditumbuhi padi. Itu adalah ladang masa depan. Meski pernah menempuh pendidikan penerbangan dan bekerja di kota, ia memutuskan kembali ke kampung. Alasannya sederhana: di sawah, ia adalah “pimpinan” bagi dirinya sendiri. Tak ada tekanan atasan, hanya jam kerja yang diatur oleh alam dan musim.
Usaha ternaknya berjalan seiring dengan pertanian. Di kandangnya, 600 ekor itik yang digembalakan berpindah-pindah bahkan sampai luar kabupaten, terutama saat musim panen padi. Dari jumlah itu, rata-rata 400 butir telur ia panen setiap hari. Pada musim puncak, penghasilannya bisa mencapai Rp600 ribu per hari, atau sekitar Rp10 juta per bulan. Ia tahu betul bahwa ada masa jeda, tiga bulan tiap tahun untuk ganti bulu, dan enam bulan pertama untuk perkembangan sebelum itik mulai bertelur.
Selain itik, Aldi memelihara sembilan ekor sapi. Tiga di antaranya betina produktif, mampu menghasilkan anak sapi yang betina, bila dijual pada usia setahun lebih, dihargai sekitar Rp8 juta per ekor. Sapi jantan berusia dua tahun bisa mencapai Rp15 juta.
“Bertani itu bukan kerja kotor, tapi kerja mulia. Kita yang mengatur waktu, dan hasilnya bisa melebihi yang kita bayangkan.”
Semua ia kelola sebagai perencanaan keuangan, jangka pendek dari telur itik yang setiap hari bisa dijual, jangka menengah dari hasil panen padi dari sawah dan jangka panjang dari penjualan sapi.
“Saya pernah merasakan kerja di kota, tapi di sini saya merasa lebih hidup,” ujarnya sambil tersenyum, menatap hamparan sawah yang baru saja ia lalui bersama ratusan itiknya.
Di tengah gempuran cerita bahwa bertani adalah pilihan terakhir, kisah Aldi mematahkan stigma itu. Ia membuktikan, dengan perhitungan yang matang dan semangat untuk mandiri, sawah dan ternak bisa menjadi sumber kehidupan yang layak bahkan lebih sejahtera dari gaji karyawan biasa.
Bagi Aldi, tanah kelahiran bukan tempat untuk sekadar pulang, melainkan tempat untuk membangun masa depan. Pesannya pada pemuda lain sederhana: “Bertani itu bukan kerja kotor, tapi kerja mulia. Kita yang mengatur waktu, dan hasilnya bisa melebihi yang kita bayangkan.”
Di bawah langit senja Lacappeang, kata-kata itu mengendap seperti aroma gabah yang baru dipanen hangat, menghidupkan, dan memberi harapan.