Oleh A. Akbar, S.Pd Presidium KAHMI Soppeng
Kabar baik datang dari Jakarta. Pemerintah pusat memastikan tidak lagi memotong Dana Transfer ke Daerah (TKD). Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa mengumumkan komitmen ini usai bertemu Presiden Prabowo Subianto di Istana Negara. Lebih dari itu, pemerintah bahkan sedang menghitung kemungkinan menambah anggaran daerah bila kondisi fiskal memungkinkan.
Bagi daerah seperti Soppeng, kabar ini tentu memberi harapan sekaligus tantangan. Harapan karena peluang dana tambahan terbuka lebar, tantangan karena kesiapan perencanaan dan penyerapan anggaran kembali diuji.
Di tingkat nasional, realisasi TKD Semester I 2025 tercatat Rp 400,6 triliun atau 43,5% dari pagu. Angka ini sebetulnya wajar, karena biasanya serapan belanja akan melaju kencang di semester kedua. Namun, pemerintah sudah mengingatkan agar APBD Perubahan segera disiapkan supaya jika ada dana tambahan melalui APBN-P, optimalisasi anggaran, atau penggunaan SAL, daerah bisa langsung mengeksekusi tanpa menimbulkan SILPA.
Bagi Sulawesi Selatan, total TKD tahun 2025 mencapai Rp 32,80 triliun, naik 3,2% dari tahun lalu. Pemprov Sulsel mendapat Rp 4,91 triliun, sedangkan kabupaten/kota seperti Bone, Makassar, dan Palopo juga mendapat alokasi signifikan. Jika benar tahun depan alokasi turun sekitar 25%, maka Sulsel diperkirakan hanya menerima Rp 24,6 triliun. Di sinilah pentingnya efisiensi: belanja wajib seperti pendidikan, kesehatan, dan gaji ASN akan tetap dijaga, tetapi ruang fiskal daerah bisa makin sempit.
Lalu apa yang harus dilakukan Pemda Soppeng? Pertama, memperkuat perencanaan dan APBD. RKPD harus disesuaikan dengan fokus belanja yang mendukung layanan dasar, terutama pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur. Belanja birokrasi yang tidak produktif perlu ditekan, sementara belanja modal pro-rakyat harus ditingkatkan.
Kedua, percepatan serapan anggaran menjadi kunci. Tidak jarang kita melihat proyek baru mulai jalan di akhir tahun, sehingga serapan rendah dan menyisakan SILPA besar. Padahal, jika DAK fisik bisa diserap lebih awal, dampaknya bisa langsung dirasakan masyarakat.
Ketiga, advokasi anggaran perlu digencarkan. Pemerintah daerah tidak cukup hanya menunggu transfer dana. Forum APKASI, komunikasi dengan Kementerian Keuangan, Bappenas, hingga DPR RI harus dimanfaatkan agar kepentingan Soppeng masuk radar APBN-P.
Di era desentralisasi fiskal, pemerintah daerah tidak boleh hanya menjadi “penonton” kebijakan pusat. Komitmen pemerintah menjaga TKD adalah peluang. Namun tanpa kesiapan perencanaan dan eksekusi anggaran yang cepat, tambahan dana hanya akan jadi angka di laporan, bukan menjadi jalan beton, jembatan, sekolah, atau puskesmas yang dirasakan masyarakat.
Komitmen menjaga layanan dasar sudah dijamin pemerintah. Kini bola ada di Pemda dan DPRD Soppeng: mampukah mereka memastikan setiap rupiah TKD terserap dengan efektif, adil, dan berdampak?
Masyarakat akan menilai bukan dari angka-angka di atas kertas, melainkan dari jalan yang mulus, layanan kesehatan yang memadai, dan guru-guru yang digaji tepat waktu. Jika TKD benar-benar tidak dipotong dan bahkan ditambah, maka tahun ini bisa jadi momentum kebangkitan pembangunan Soppeng, asalkan kita semua, dari pemerintah hingga masyarakat, siap menyambutnya dengan kerja yang terencana.






