Oleh: HAM Zulkarnain
Pagi tadi saya duduk di warkop langganan. Bau kopi hitam baru diseduh bercampur suara gelas yang saling beradu. Meja-meja penuh, suasana riuh. Obrolan para bapak-bapak di meja sebelah ternyata seru, bahas politik lokal, dan sedikit gosip kampung. Tapi saya cuma diam. Topiknya tidak nyambung dengan saya.
Supaya tidak kosong, saya ambil HP, buka berita nasional. Scroll-scroll, dan mata saya berhenti di headline CNBC Indonesia: “Purbaya Kaget Dengar Tarif Cukai Rokok: Wah Tinggi Banget, Firaun Dong.”
Saya tertawa kecil. Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa suka ceplas-ceplos. Tapi setelah membaca isinya, saya berhenti tertawa. Ini bukan sekadar humor. Purbaya kaget karena tarif cukai hasil tembakau (CHT) rata-rata sudah 57%. Dia bahkan sempat bertanya-tanya, kalau tarif ini diturunkan apakah penerimaan negara justru naik?
Mari kita lihat datanya. Tahun 2022, tarif cukai naik 12% dan penerimaan negara dari CHT mencapai Rp 218,3 triliun dengan produksi 323,9 miliar batang. Tahun 2023, tarif naik 10% tapi produksi turun menjadi 318,1 miliar batang. Akibatnya, penerimaan justru turun ke Rp 213,5 triliun. Tahun 2024, produksi kembali turun tipis ke 317,4 miliar batang, dan penerimaan naik sedikit ke Rp 216,9 triliun karena tarifnya tetap dinaikkan.
Logikanya, naikkan tarif harusnya bikin penerimaan negara naik. Tapi nyatanya, malah cenderung turun. Di titik ini, komentar Purbaya “kalau tarif diturunkan bisa jadi penerimaan naik” jadi masuk akal.
Pemerintah memang punya misi mulia untuk menekan jumlah perokok sekaligus menjaga penerimaan negara. Tapi realitas di lapangan tidak sesederhana itu. Jumlah perokok Indonesia belum tentu turun. Perokok hanya beradaptasi. Mereka pindah merek, cari yang lebih murah, atau membeli rokok tanpa pita cukai.
Dan benar saja, rokok ilegal makin gampang ditemukan di pasaran. Di warung-warung kecil, di pelosok, bahkan di kota besar. Harganya jauh lebih murah, dan buat perokok dengan ekonomi pas-pasan, ini jadi pilihan realistis.
Ironinya, kebijakan cukai tinggi membuat industri resmi tertekan. Pabrik rokok harus bayar cukai besar, biaya produksi naik, tenaga kerja tetap harus digaji, tapi pasarnya direbut rokok ilegal. Negara pun rugi karena penerimaan cukai bocor.
Sekarang mari kita tengok industri rokok di daerah. Banyak pabrik kecil yang modalnya pas-pasan, produksinya terbatas, dan biaya operasionalnya tinggi. Mereka memproduksi rokok murah untuk kalangan bawah. Kenaikan cukai membuat mereka semakin terhimpit. Ada yang gulung tikar, ada yang kurangi tenaga kerja.
Industri besar mungkin bisa bertahan dengan strategi promosi, efisiensi produksi, atau bahkan menaikkan harga jual. Industri kecil? Mereka sering kali cuma bisa pasrah. Dalam situasi seperti ini, apakah mungkin mereka tergoda untuk memproduksi rokok tanpa cukai agar bisa bertahan? Saya tidak mau menjawabnya.
Di warkop, saya melihat bapak-bapak tadi tetap merokok. Ada yang rokok pabrikan, ada yang rokok kretek. Perilaku merokok jelas belum hilang. Artinya, target pengendalian konsumsi belum tercapai. Yang berhasil ditekan justru industri rokok, yang akhirnya ikut menekan tenaga kerja.
Inilah efek domino. Negara ingin mengurangi jumlah perokok, tapi yang terjadi adalah pendapatan negara cenderung turun, padahal tarif sudah tinggi. Jumlah perokok tetap tinggi, hanya berpindah merek. Rokok ilegal menjamur, pasar dibanjiri produk tanpa pita cukai. Industri lokal kian tertekan, beberapa terpaksa mengurangi produksi atau tenaga kerja.
Saya rasa Purbaya benar ketika mengingatkan bahwa kita tidak bisa membuat kebijakan yang mematikan industri tanpa menyediakan solusi bagi pekerjanya. Selama pemerintah belum punya program transisi bagi tenaga kerja yang kehilangan mata pencaharian, industri rokok sebaiknya tidak “dibunuh.”
Obrolan warkop pagi itu tetap ramai. Tapi saya lebih banyak tenggelam dalam pikiran sendiri. Cukai rokok ternyata bukan sekadar angka di kertas APBN. Ia menyentuh urusan perut pekerja, memengaruhi keputusan konsumen, dan bisa menentukan hidup-matinya industri kecil di daerah.
Pertanyaannya, sampai kapan kebijakan ini akan bertahan seperti sekarang? Dan, siapa sebenarnya yang diuntungkan dari cukai rokok yang semakin tinggi ini? (Soppeng, 20/9/2025)