BUDAYASOPPENG

Massappo Wanua di Soppeng: Menjaga Pagar Sakral di Tengah Zaman

×

Massappo Wanua di Soppeng: Menjaga Pagar Sakral di Tengah Zaman

Sebarkan artikel ini

LIPUTAN KHUSUS

Watansoppeng (16/9/2025) – Jalan kecil menuju Bola Ridie siang itu terasa begitu sunyi. Hanya semilir angin yang menemani langkah kami. Samar samar suara kapong dan kendaraan masih terdengar. Di hadapan kami, sebuah rumah semuanya berwarna kuning. Saya sedikit bergidik, ini rumah saksi bisu kejayaan Kerajaan Soppeng.

Di sinilah, kata orang, tersimpan benda-benda pusaka yang hanya dikeluarkan pada saat-saat tertentu.

Begitu saya mengetuk, seorang lelaki paru baya menyambut di pintu. Ia mengenakan sarung, pakaian sederhana, namun ada wibawa yang sulit dijelaskan. Sorot matanya teduh tapi tegas, seperti orang yang terbiasa memanggul amanah besar.

“Silakan masuk” katanya pelan.

Dialah Matoa Bissu Soppeng, penghulu para bissu, penjaga Bola Ridie, pemimpin segala ritual sakral di Soppeng. Saya dipersilakan duduk melantai di ruang tengah. Tak lama kemudian, kami memasuki suatu ruangan, dia memimpin ritual mappangolo atau mappesabbi. Doa lirih mengalir, seakan menggetarkan udara di dalam rumah. Saya menunduk, merasakan bulu kuduk meremang. Itu bukan sekadar formalitas, melainkan permohonan izin pada para leluhur agar percakapan ini direstui.

Upacara Mappangolo atau Mappesabbi, ritual yang dilakukan untuk menerima tamu.

Setelah doa selesai, ia tersenyum tipis dan mempersilahkan kami kembali ke ruang tamu. “Sekarang kita bisa berbicara,” katanya.

Matoa Bissu mulai bercerita tentang posisinya, sebagai seorang penjaga warisan yang tidak hanya mengurus benda pusaka, tetapi juga menjaga marwah kampung, menjaga keseimbangan antara dunia manusia dan dunia gaib.

“Kami diberi amanah untuk menjaga Bola Ridie, menjaga arajang. Kalau ada ritual besar, kami yang pimpin. Itu tugas yang tidak bisa ditolak,” ujarnya dengan suara mantap.

Lalu ia menyebut satu ritual yang membuat sorot matanya berbinar, Massappo Wanua.

“Massappo Wanua itu pagar gaib kampung kita,” ucapnya pelan, namun tegas. “Dulu, setelah panen atau kalau ada penyakit menular, kita keliling wanua. Kita bawa air suci, perciki setiap sudut, setiap batas kampung. Doanya supaya kampung bersih, aman dari gangguan apa pun; baik wabah, bencana, atau perselisihan.”

Saya bisa merasakan betapa sakralnya ritual itu dari cara ia bertutur. Tangannya bergerak pelan, seolah sedang memercikkan air di udara.

“Dulu, semua orang ikut,” lanjutnya. “Tidak ada yang tinggal di rumah. Semua keluar, berjalan bersama. Rasanya seperti kampung dipeluk oleh doa.”

Ia menuturkan bahwa ritual ini selalu dimulai dari Bola Ridie. Para bissu memimpin prosesi, menari, melantunkan doa, membawa arajang; benda pusaka kerajaan yang jarang diperlihatkan. “Itu momen sakral. Orang bisa menangis melihatnya. Bukan karena takut, tapi karena merasa dekat dengan leluhur,” ujarnya lirih.

Matoa Bissu masih ingat betul pelaksanaan Massappo Wanua yang terakhir kali diadakan secara besar-besaran. “Kami berkumpul di Tugu Lamumpatue. Bissu datang dari berbagai kampung. Ada arak-arakan keliling kota. Suara gendang, bau dupa, semua menyatu. Kota seperti diselimuti dengan doa.”

Namun ia menghela napas panjang. “Setelah itu, belum ada lagi yang sebesar itu. Kadang-kadang masih ada di kampung tertentu, tapi kecil, hanya warga sekitar yang tahu.”

Ia mengakui bahwa zaman telah berubah. “Sekarang kalau dilakukan, banyak anak muda melihatnya sebagai pertunjukan budaya, bukan ritual. Padahal ini doa bersama, bukan sekadar tontonan.”

Nada suaranya merendah. “Bissu kita makin sedikit. Kebanyakan sudah tua. Kalau mereka habis, siapa yang akan memimpin? Saya khawatir. Tradisi ini bisa saja hilang kalau tidak dijaga.”

Namun bukan berarti ia putus asa. Ia percaya Massappo Wanua masih relevan. “Kita butuh momen yang membuat orang berkumpul, bekerja sama, merasakan rasa memiliki kampung. Massappo Wanua itu jawabannya. Ini perekat sosial. Kalau rutin dilakukan, anak muda bisa belajar menghargai warisan leluhur.”

Matoa Bissu berharap pemerintah daerah memberi perhatian lebih. “Harus ada agenda kebudayaan yang menghidupkan lagi Massappo Wanua. Jangan tunggu sampai hanya tinggal cerita. Kalau pemerintah dukung, kita bisa jadikan ini identitas Soppeng sekaligus daya tarik budaya.”

Sebelum saya pamit, ia memberi pesan terakhir. “Yang penting bukan seberapa meriah acaranya. Kalau cuma untuk wisata, saya takut hilang marwahnya. Tapi kalau untuk keselamatan kampung, untuk mengingat leluhur, itu akan terus hidup. Selama ada orang yang percaya dan mau melakukannya, pagar itu tidak akan runtuh.”

Banyak hal yang diceritakan Fung Matoa Bissu, mungkin akan saya buat beberapa tulisan.

Saya keluar dari Bola Ridie dengan perasaan yang sulit diungkapkan. Seakan suara gendang, nyanyian bissu, dan doa-doa para leluhur tadi mengikuti langkah saya. Massappo Wanua bukan hanya ritual masa lalu. Ia pesan untuk masa kini; untuk menjaga harmoni, memperkuat gotong royong, dan mengingatkan kita semua bahwa kampung ini milik bersama. (AMZ).