Di salah satu warkop di sekitar segitiga Cabbenge Soppeng, malam itu nyaris hening. Hanya suara hujan kecil di seng dan sesekali derit kursi plastik yang bergeser. Malam hampir larut, saya bersandar pada aroma kopi panas yang baru saja dituang. Layar ponsel menyala, dan seperti biasa, jari ini membuka media sosial tanpa maksud tertentu.
Lalu muncul satu foto yang membuat mata berhenti, belasan orang berdiri di air berlumpur, beberapa melempar jala bersamaan dan di latar belakang hijau, tenang, dan hidup—sebuah rawa yang belum menyerah pada zaman.
Caption-nya: “ Local Wisdom, Makkaja Bale di Cennoe Desa Belo, Kecamatan Ganra.” Kira-kira begitulah.
Unggahan itu milik Sudirman Muhammadiyah, seorang pegiat sosial, nama yang tidak asing bagi saya. Di meja yang sama, Ewok, nama aslinya Rizky Amaliah S.Pd, teman lama di komunitas motor tua, teman ngopi saya malam itu, mengangguk pelan. “Itu kampungku,” katanya singkat. Dari mulutnya yang hemat bicara, saya tahu itu bukan sekadar kampung. Tulisan ini diam-diam turut diperkaya oleh ingatannya.
Setahun sekali, ketika musim telah bersahabat dan air di Laradda mulai tenang, warga Cennoe Desa Belo Kecamatan Ganra di Kabupaten Soppeng bersiap-siap untuk sebuah tradisi turun-temurun yang menyatukan langkah, tangan, dan ingatan. Tradisi itu bernama Makkaja Laradda.

Laradda atau dalam lidah lokal terkadang disebut Lahadda bukan sembarang rawa. Ia adalah aliran sungai mati yang menyimpan air dan kehidupan kecil di dalamnya. Ikan-ikan yang tumbuh liar, tumbuhan rawa, dan jejak-jejak sejarah ekologi yang masih terjaga.
Sementara itu, Makkaja bermakna menangkap ikan. Tapi bagi masyarakat Belo, Makkaja Laradda bukan sekadar aktivitas mencari makan, melainkan upacara alamiah yang menghadirkan rasa syukur, kebersamaan, dan kenduri ekologis.
Dengan jala di tangan, puluhan bahkan hampir seratusan warga turun ke air. Mulai dari anak-anak hingga orang tua, mereka membentuk lingkaran, menyusuri air secara perlahan, lalu menebar jala serentak. Tak ada kompetisi, tak ada yang serakah. Ikan yang diperoleh dibagi, dimasak, dan dinikmati bersama. Tawa dan cerita bertebaran di udara, bersanding dengan gemericik air yang disentuh kaki.
Makkaja Laradda bukan hanya tentang ikan, tapi tentang menjaga warisan sosial yang membentangkan nilai-nilai gotong royong, keterhubungan dengan alam, dan solidaritas desa. Nilai-nilai yang semakin langka di tengah dunia yang serba cepat dan individualistik.

Makkaja Laradda berpotensi untuk pengembangan wisata budaya dan ekologi (culture eco-tourism) yang sangat khas. Bukan tontonan yang direkayasa, melainkan pengalaman otentik yang tumbuh dari hidup masyarakat sendiri.
Ada beberapa alasan mengapa Makkaja Laradda patut dijadikan program ekowisata desa:
1. Autentik dan Kontekstual. Tidak dibuat-buat. Tradisi ini tumbuh dari praktik hidup warga. Orang yang datang bisa menyaksikan langsung bagaimana jala dilempar, bagaimana ikan ditangkap, dan bagaimana suasana kebersamaan dibangun secara alami.
2. Berbasis Partisipasi Masyarakat. Kegiatan ini bukan tontonan semata. Warga adalah pelaku utama. Inilah bentuk wisata budaya yang tidak mengasingkan masyarakat dari tradisinya, tapi justru menguatkan identitas mereka.
3. Ramah Lingkungan dan Musiman. Karena hanya dilakukan sekali dalam setahun, dan dengan alat tangkap tradisional (jala tangan), tradisi ini tidak merusak habitat ikan. Justru menjadi mekanisme alami menjaga keseimbangan rawa dan ikan-ikan di dalamnya.
Tradisi Serupa di Negeri Bahari
Apa yang dilakukan warga Desa Belo juga bergema di banyak daerah pesisir lain di Indonesia. Di negeri kepulauan ini, laut, sungai dan air bukan sekadar sumber kehidupan, tapi ruang budaya yang penuh makna.
Ngarad di Anyer, Banten, misalnya. Warga setempat menarik jaring panjang dari pantai secara bersama-sama, lalu membagi hasil tangkapan dengan adil. Tradisi ini rutin dilakukan dan menjadi simbol persaudaraan.
Di Pulau Mayau, nelayan menyusun strategi bersama untuk menjaring cakalang. Mereka berbagi hasil sesuai peran, memperlihatkan nilai gotong royong yang terorganisasi.
Sambatan di Bangka bukan menangkap ikan, melainkan kerja sukarela untuk mendorong perahu nelayan dan memperbaiki peralatan tangkap secara kolektif. Sebuah bentuk solidaritas ekonomi dan sosial yang mengakar kuat.
Di Lamalera, Nusa Tenggara Timur, tradisi menangkap paus dilakukan dengan kesepakatan adat, dan hasilnya tidak dimiliki satu orang, melainkan dibagi berdasarkan sistem yang diwariskan turun-temurun.
Menjala Lebih dari Sekadar Ikan
Makkaja Laradda adalah cermin dari falsafah hidup yang tak banyak dikatakan, tapi kuat dijalani: bahwa air bukan hanya tempat ikan, tapi juga tempat nilai. Ketika manusia dan alam saling memahami, maka muncul keselarasan yang tidak bisa dibeli oleh teknologi atau uang.
Dan bila ditata dengan bijak, budaya seperti ini bisa menjadi kekuatan baru, menggerakkan ekonomi lokal tanpa mengorbankan jati diri masyarakat. Wisata berbasis budaya dan lingkungan, yang tak hanya mengajak orang datang, tapi juga mengajak mereka paham.
Makkaja Laradda tak sekadar menjadi “agenda tahunan”. Ia adalah bentuk doa dalam gerak. Tradisi yang menangkap lebih dari sekadar ikan, ia menjala kenangan, merawat hubungan, dan menguatkan jiwa sebuah komunitas.